! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 11.

Pemimpi, Pemimpin, Pemimpin Pemimpi,

Pemimpi Pemimpin

Oleh : Supadiyanto

Beda-beda tipis memang antara pemimpi dan pemimpin. Perbedaan kentara pemimpin dan pemimpi cukup terletak pada buntut huruf itu, yakni “N”-nya. Coba simak, minimal ada empat jenis pemimpin, mungkin juga ada empat jenis pemimpi.

Pemimpin jenis pertama yakni pemimpin pemimpi. Tipologi pemimpin macam ini gemar sekali bermimpi muluk-muluk, tetapi tanpa menyertainya dengan usaha konkrit, upaya rasional, dan ikhtiar yang sungguh-sungguh. Pemimpin impian bisa jadi jenis pemimpin selanjutnya —yakni pemimpin harapan bagi banyak kalangan. Jenis pemimpin ini hampir tak ada dalam dunia nyata, melainkan sekedar angan-angan dan pengharapan dari alam bawah sadar umat manusia. Pemimpin impian dalam khasanah budaya Jawa mirip dengan mitos Ratu Adil, Satriya Piningit, dan semacamnya. Jenis pemimpin ketiga yaitu pemimpin tanpa impian. Inilah karakteristik pemimpin yang tak memiliki cita-cita luhur, adanya hanya kemauan pribadi, kepentingan kelompok, dan ambisi menguasai semata tanpa memikirkan kesejahteraan nasib rakyat. Adapun jenis pemimpin keempat yakni pemimpin bermimpi pemimpin impian. Mayoritas pemimpin mengalami “stereotipe” jenis ini. Para pemimpin (yunior) otomatis terdikte oleh gaya kepemimpinan pendahulu-pendahulunya (senior) —entah kepada para pemimpin senior yang berprestasi baik maupun ber-track record buruk. Seorang pemimpin yang bermimpi jadi pemimpin impian mempunyai semangat ego kepemimpinan untuk mempersembahkan kualitas kepemipinan terbaiknya demi kamajuan rakyat.

KPU Pusat dan KPUD bersama rakyat Indonesia boleh dibilang sudah sukses menggelar Pemilu Legislatif, kendati di sana-sini menuai protes. PR utama yang masih tersisa kini yakni tinggal menghelat Pilpres 8 Juli 2009. Mungkinkah bangsa ini kuasa memiliki para wakil rakyat (DPR/D, DPD RI) serta presiden-wakil presiden serta menteri yang nantinya benar-benar bisa memperjuangkan nasib rakyat hingga terbebas belitan kemiskinan dan kebodohan?

Pesta demokrasi bernama Pilpres itu teranglah merupakan pintu gerbang bagi masa depan Indonesia; apakah bangsa ini akan terus terseok dalam kubangan nasib buruk, stagnan alias idem kondisi saat ini, atau justru mulai menuai kondisi cerah. Pemilu Legislatif memang sudah usai; sementara ini kita sudah tahu siapa-siapa saja para wakil rakyat yang terpilih untuk berkantor di gedung-gedung dewan.

Kampanye Pilpres juga sudah di ambang pintu. Sudah dipastikan bahwa para Capres-Cawapres akan sibuk dengan propaganda masing-masing. Para pejabat negara, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Gubernur, Bupati/Walikota, dan lainnya, menjelang hari H Pilpres 2009 juga “dipaksa” untuk berkampanye —baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Implikasinya, pastilah roda pemerintahan agak terganggu. Rakyat sendirilah yang bakal dirugikan akibat kondisi demikian. Banyaknya para pejabat negara yang mengambil cuti pada masa kampanye Pilpres mendatang juga terang membikin roda pemerintahan baik di tingkat pusat hingga daerah bakal terganggu. Kita berharap, kerisauan (penulis) di atas sudah terantisipasi agar tak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 bernilai strategis dalam merealisasikan Indonesia masa depan. Pasalnya, dua hajatan demokrasi di atas tak saja bertujuan memilih para pemimpin untuk didudukkan pada kursi jabatan DPR, DPRD, DPD RI serta Presiden-Wakil Presiden RI semata, melainkan juga memilih secara langsung para pemimpin sejati yang berani bermimpi visioner.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalkan, harus terus-menerus berkaca diri pada capaian-capaian keberhasilan yang direngkuh oleh para pemimpin seniornya seperti Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wachid, BJ Habibie, Soeharto, dan Soekarno. Ia juga harus terus menjadikan kegagalan-kegagalan yang terjadi dalam pemerintahan sebelumnya sebagai bahan pembelajaran untuk mengambil tindakan atau keputusan strategisnya.

Begitu pula bagi Presiden-Wakil Presiden RI yang bakal terpilih dalam Pilpres 8 Juli 2009 mendatang—siapapun mereka, harus selalu bercermin dan menjadikan para pemimpin senior sebagai teladannya. Akan tetapi, patut dicatat bahwa tak ada larangan bagi para pemimpin itu untuk menjadikan para nabi dan rasul serta tokoh-tokoh legendaris dunia lainnya menjadi panutan spiritual mereka.

Rakyat sendiri, sebagai nukleus yang maha penting dalam pembentukan munculnya posisi pemimpin, tetap harus terus memberikan perhatian khusus pada para pemimpin bangsa ini. Adanya pemimpin berkat keberadaan rakyat. Tanpa ada pemimpin, rakyat masih bisa bertahan hidup. Tetapi tanpa rakyat, pemimpin tidak ada artinya apa-apa. Apalagi, posisi para wakil rakyat (anggota DPR/D dan DPD RI) jelas “kastanya” jauh lebih rendah dari rakyat sebab mereka hanya wakilnya rakyat, pesuruhnya rakyat.

Jadi, kalau kita dipercaya sebagai pemimpin/wakil rakyat via Pemilu Legislatif 2009 kemarin dan Pilpres 8 Juli 2009 besok, jangan sekali-kali menyia-nyiakan rakyat, apalagi angkuh dan congkak di hadapan 230 juta jiwa penduduk negeri ini. Bukankah tak jadi pemimpin, minimal kita bisa menjadi pemimpi. Ya, minimal lagi menjadi pemimpin pemimpi atau tukang pemimpi pemimpin. Oh, begitu ya? (*)

*) EspedE Ainun Nadjib, Kolumnis (e-mail:padiyanto@yahoo.com)