! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 7.

Kurban, Haji, dan Ruh Optimis Jelang Tahun 2009

Oleh Supadiyanto

Perayaan Hari Raya Idul ”Kurban” Adha dan ibadah haji dalam satu rangkaian secara reflektif memiliki dimensi teologis sekaligus psikososiokultural bagi kemaslahan manusia. Tahun ini saja, pemerintah di negeri berpenghuni 224 juta jiwa ini memberangkatkan 210 ribu haji ke Baitullah. Pertanyaan mahapentingnya yakni, mungkinkah ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha itu bisa menjadi pematik ”ruh” optimisme bangsa ini dalam menatap masa depan menghadapi ”Indonesia 2009”?

Di penghujung tahun ini, ratusan ribu, bahkan jutaan shahibul qurban (orang yang berkurban) menyembelih dan mendistribusikan daging hewan kurban. Artinya, terjadi dialog kesadaran dalam berteologi (hubungan Tuhan dan manusia) dan dialog kesadaran batin dalam berdialektika sosial (hubungan antarmanusia).

Secara kebetulan pula, bertepatan dengan perayaan ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha di penghujung tahun ini, bangsa ini sedang tertimpa beragam bencana alam dan sosial di sejumlah daerah. Kawasan Jakarta, Brebes, Medan, Semarang, Pati, Purworejo, dan kota lainnya sedang dihantui bencana banjir. Gorontalo dan Kabupaten Buol Sulawesi Tengah digunag gempa 7,7 SR yang menewaskan sejumlah orang dan merusakkan berbagai infrastruktur di sana. Belum lagi, sebagian warga Sidoarjo masih dilanda banjir lumpur panas akibat jebolnya tanggul-tanggul penahan luapan lumpur panas Lapindo. Bahkan, bencana sosial —kemiskinan, pengangguran, tindak kriminalitas— malah makin meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Logislah kalau umat Muslim pantas merasa prihatin atas berbagai bencana alam dan sosial di atas, sehingga perayaan Hari Raya Idul Adha dan Lebaran Haji tahun ini dijadikan momentum bersama dalam berlomba-lomba berbuat kebajikan dan mengintensifkan aksi solidaritas sosial. Menurut kalkulasi statistik, jumlah keluarga miskin di negeri ini puluhan juta jiwa jumlahnya. Dari segi geografis, sebagian besar keluarga miskin tinggal di rumah-rumah kardus sekitar bantaran sungai atau himpitan perkampungan kota. Sebagian lain tersebar di pelosok desa, pegunungan, dan pesisir pantai. Dari akses pendidikan dan kesejahteraan sosial, mereka berpendidikan rendah, tak memiliki akses langsung atas sumber informasi atau birokrasi.

Merujuk fakta sosial itu, sejatinya, dimensi sosiokultural yang terpantik di balik perayaan Hari Raya Idul Adha diharapkan kuasa membangkitkan rasa optimisme bangsa ini dalam menatap masa depan atau melecutkan kembali pemaknaan komprehensif akan ibadah Idul Adha. Para shahibul qurban —yang mayoritas berbasis finanasial kuat— dengan ikhlas mendermakan sebagian kekayaannya untuk dibagi-bagikan kepada pihak yang minus secara keuangan. Setali tiga uang dengan itu, ratusan ribu jamaah haji —yang juga banyak di antaranya kaya— wajib menyantuni fakir-miskin sepulang dari Mekkah, nantinya.

Jangan malah para shahibul qurban serta para haji itu melaksanakan ibadahnya semata-mata ingin menunjukkan ”kesalehan relijiusnya” di depan publik agar mendapat pujian masyarakat atau menaikkan gengsi sosial. Bisa jadi momentum Hari Raya Idul Adha dan Lebaran Haji ini dimanfaatkan oleh sekelompok oportunis —dalam hal ini para ”politikus”— untuk ”mencari muka” agar sukses dalam hajatan Pemilu Legislatif dan Pemilu Pilpres 2009, mendatang.

Jika perkara tadi benar-benar benar, alangkah naasnya masa depan bangsa ini. Kenyataannya, memang banyak Caleg serta Capres-Cawapres yang melakukan ibadah haji sekaligus menjadi shahibul qurban. Tentu saja, kita tak bisa menjustifikasi setiap Caleg, Capres-Cawapres yang kini sedang khusuk menunaikan dua ibadah itu memiliki keikhlasan yang tulus. Kita tak pula bisa menilai seseorang yang berkurban itu melakukannya dengan niat menjalankan perintah Tuhan atau dengan pretensi politik di belakangnya. Semuanya tetap saja kembali pada kebersihan hati manusia dan tentu hanya Tuhan sajalah yang Maha Tahu.

Semoga perayaan Hari Raya Idul Adha dan ibadah haji tahun ini mampu membangkitkan ”ruh” optimisme kolektif, bukan sebaliknya. Klimaksnya, Tahun Baru 2009 besok bisa menjadi pintu gerbang terwujudnya masa depan Indonesia yang lebih menjanjikan. See you next year —insyaallah— with your neo spirit! (*)

*) Supadiyanto; Kolumnis (e-mail: padiyanto@yahoo.com//mobile: 0817947204)