Mantra Paseduluran Dunia-Akhirat
Sedulur papat, limo pancer. Paseduluran alias persaudaraan itu minimal ada empat model. Pertama, persaudaraan model klasik nan baku karena terikat oleh hubungan darah, trah, atau klan (genekologis). Tipologi perkoncoan kedua, karena terikat oleh rasa kebersamaan nasib; sama-sama jadi orang menderita, atau bareng-bareng jadi orang berkecukupan. Perkronian antarmanusia ketiga adalah persaudaraan karena kesamaan ideologi, satu cita-cita, visi-misi yang identik atau diidentik-identikkan —kendati tak punya hubungan kekerabatan. Namun, hanya pasedeluran (keempat) yang terikat oleh rasa kemanusiaan, berdasar rasa kasih sayang yang sejatinya mampu mengentalkan ikatan batin antara satu orang dengan lainnya; tanpa peduli punya atau tidaknya hubungan darah dengan kita, atheis atau theis (kalau theis, seagama atau tidak)
Asalkan ia masih memiliki dasar cinta kasih dalam pantulan jiwanya, pantaslah kita jadikan ia sebagai saudara sejati. Tak penting lagi berbagai aksen, simbol, dan emblem jasadiah lainnya; apakah ikhwan A itu ganteng apa jelek, garis parpol dan ideologinya (merah hijau, kuning, atau mungkin abu-abu). Semua itu tidak akan menjadi hambatan dalam prinsip perkongsian, perkoncoan, persaudaraan, dan paseduluran yang menyejati (asal kata dari pohon jati).
Sebaliknya, kalau masih ada orang, kelompok, makhluk, institusi resmi (LSM, birokrat, parpol) yang terus membedakan kadar persaudaraan antarmanusia, maka belum pantas ia disebut menjalani proses persaudaraan dunia-akhirat. Sikap kita kepada sesama Muslim hidup rukun, saling tolong-menolong, berhubungan layaknya satu keluarga adalah suatu korelasi sosial yang sudah biasa —dan memang harus begitu. Hal itu akan jadi perkara luar biasa andaikan di antara orang yang berbeda maqam ideologi, tekstur agama, aroma ras, dan lambang keprimordialistisan mampu menciptakan dialektik kemesraan psikososial; hidup rukun yang tidak dibuat-buat, saling tolong-menolong tanpa sikap keterpaksaan dan rekayasa, mampu berhubungan layaknya satu keluarga tanpa tendensi kalkulasi untung-rugi.
Gara-gara rebutan seorang perempuan cantik saja, bergolak segera pertikaian antara satu bangsa dengan bangsa lain. Gara-gara harta gono-gini; kita bisa dengan mudah saling bunuh atau dibunuh. Sebab perkara sepele saja, carok bisa terjadi di mana-mana dan kapan saja, dulu dan juga sekarang. Gara-gara jabatan mentereng, semua orang rela memenggal leher saudara kembarnya sendiri, apalagi sekedar menggorok urat nadi orang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. Dalam teori psikologi kriminalitas kontemporer, orang yang berani memutilasi tubuh orang yang telah dikenalnya menjadi sepuluh, dua, tiga puluh bagian potong tubuh jelas jauh lebih kejam karat ke-"Ken Arok"-annya daripada perangai seorang maling yang menggarong seluruh bondo donyo serta menghabisi nyawa sang empu rumah orang yang sama sekali tak dikenalnya.
Paseduluran yang hanya berorientasi kehidupan dunia hanya mubazir dan segera terputus keabadian resonansinya kala kedua pihak telah sekarat. Paseduluran yang sekedar berperspektif kekinian, kefanaan, dan duniawi lekas sirna dan tak bernilai ganda kadar maupun intensitas kerekatan psikososiohumanisme-annya. Ditinjau dari segi bisnis, paseduluran yang mengandalkan pada hitung-hitungan untung-rugi, memang menguntungkan, tetapi sejatinya ia segera berubah menjadi pemicu cespleng bagi pergeseran tata nilai dan sendi-sendi norma-norma kerohanian. Dari bidik kalkulator tata niaga saja, persaudaraan yang tentu sarat dengan kamuflase, lipstik picis, aksesoris kata-kata romantis, dan bumbu-bumbu advertising akan kian memojokkan makna sejati paseduluran dunia-akhirat. Lantas bagaimanakah sejatinya mantra paseduluran dunia-akhirat itu?
"Ia adalah paseduluran yang dilandasi dasar rasa kasih-sayang, tata kelola nilai-nilai kemanusiaan, pedoman-pedoman akhlakul karimah, percikan cahaya kebenaran yang memantul dari jiwa dan hati nurani. Ia adalah model persaudaraan yang tak hedonistis, tak menanyakan apakah engkau kaya atau miskin, jauh atau dekat, cakep atau setengah cakep atau buruk sekalian, tak perlu menegasikan apakah person itu dulu garong atau Gus, apakah mereka kelompok berdarah biru atau sudra, berprofesi sebagai tukang ojek atau direktur PT Bos, seorang pengemis atau tukang palak. Ia adalah emosi batin persaudaraan yang muncul dari dalam lubuk jiwa terdalam, bukan atas cinta sepandangan mata; bukan pula atas tampilan fisik atau polesan propaganda iklan teve, radio, koran, dan internet. Ia juga adalah jenis paseduluran layaknya air dengan unsur oksigen dan hidrogen-hidrogennya; kekerabatan antara langit yang tak berbatas dengan langit-langit rumah di bumi yang amat berbatas. Ia juga merupakan kumparan elok sebagaimana pelangi-pelangi di cakrawala sana yang tersusun indah tanpa ada kompromi dan intrik deal politik sebelumnya. Ia laksana kebersatuan darah-tulang-daging-otot-usus serta udara-udara yang bergejolak di dalamnya. Ending-nya, ia adalah model paseduluran yang diliputi dengan mantra-mantra sakti sehidup-semati demi memperjuangkan satu kata sepakat: cinta yang tak habis tergali kendati ia ikhlas harus 'terbakar habis' oleh kemahadahsyatan Dzat-Nya".
Patut direnungkan bahwa segala yang dibisikkan oleh hati nurani adalah kebenaran, bukan kebetulan atau kebenaran tersamarkan, sedangkan segala yang terpancar dari ide, pikiran, dan sinyal-sinyal software otak perlu diendapkan terlebih dahulu karena otak adalah tempat pertempuran antara kebaikan dan keburukan. Artinya, produk dari pikiran pastilah hanya ada empat jenis: satu, produk pikiran buruk; dua, ia mungkin bisa menjadi hasil pikiran baik; tiga, produk netral, artinya tidak baik, buruk juga tidak; paling pamungkas, adalah pikiran, ide, gagasan yang bisa bernilai setengah kebenaran, seperempat keburukan plus seperempat nilai yang tak teridedentifikasi (apakah ia berapot keburukan atau kebaikan). Teramat logislah kala setiap orang akan melakukan hal-hal yang tak benar, menyalahi fitrah batin, maka terjadi pergolakan antara batin-jiwa (hati nurani) dengan pikiran yang berpangkal pada otak.
Inklusivitas sekaligus eksklusivitas Jamaah Maiyah (Padang Mbulan, Bangbang Wetan, Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta…) hanyalah salah satu model, pola relasi, dan prototipe paseduluran “dunia-akhirat” yang tak saja memikirkan kemaslahatan personal, kebermanfaatan grup masyarakat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, internasional; tetapi juga sekaligus merangkulkan keseluruhan hubungan zigzag, linier, elementer, frontal, horisontal, vertikal, putus-sambung atas semua unsur elemen ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta keamanan.
Kalimat kuncinya, penyebaran virus-virus paseduluran dunia-akhirat ini harus digelorakan secara kontinyu, tanpa kenal lelah, dengan mendasarkan sikap saling hormat-menghormati, asas demokrasi yang mencerdaskan, prasangka kemalaikatan, jangan berprasangka kesetanan; sembari semua memposisikan diri sebagai makmum sekaligus selalu siap sedia berposisi sebagai khalifah minimal atas diri mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya.
Prinsip pokok paseduluran sejati dunia-akhirat hanya dikenal oleh manusia saja yang berperadaban, sadar kemaslahan bersama, dan hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan terus berpijak tanpa henti pada petunjuk-petunjuk Tuhan melalui risalah para rasul, nubuwwah para nabi dan karamah kekasih-kekasih-Nya. Titik. (*)
spedE Ainun Nadjib, Kolumnis berbagai media cetak nasional dan lokal
(email:padiyanto@yahoo.com; mobile: 08179447204)