! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 6.

Lombok Tak Lagi Pedas, Garam Tak Harus Asin

Oleh Supadiyanto

Di bagian-bagian bumi manapun —entah di Columbia sana, di Jalan Colombo situ (jalan depannya kampus UNY), di New York, ataupun di Nyutran dusun sebelah— sejak zaman pra Adam hingga pasca Muhammad nanti, lombok itu ya tetap pedas. Dari masa prasejarah sampai zaman pos-historis garam Madura tetap saja asin, seasin garamnya Inggris. Meski kadar dan fiskositisas keasinannya berbeda-beda, garam tersebut tetap saja seasin uyah grosok pakan sapinya orang Gunung Kidul.

Bisa saja suatu ketika lombok itu berasa manis semanis gula aren. Garam juga boleh saja kelak jadi pedas se-kemepyor cabai rawit tujuh lusin. Bagaimana? Diakali dengan hukum keterbalikan budaya saja! Budaya itu kan melibatkan kompromi-kompromi, kesepakatan-kesepakatan, deal kelas tinggi. Singkatnya, terpaksa harus ada pihak yang menang, unggul, berkuasa dan juga pihak yang kalah, mengalah, terjajah, teraniaya. Pihak yang kalah harus mengakui kebenaran mutlak “pengakalan” budaya yang menjungkirbalikkan itu. Pihak yang jawara amat diperkenankan berbuat sewenang-wenang atas ide briliannya mengubah lombok itu tak harus pedas, garam tak lagi asin.

Cuma, caranya njelehi. Terdapat mekanisme untung-rugi dalam mencapai proses kesepakatan itu. Misalnya, sekarang lombok kita mufakati sebutannya sebagai asam. Garam kita alihnamakan sebagai gula. Konsekuensi logis barunya adalah bahwa lombok jadi asam-kecut, sedangkan garam berubah manis

Mengapa penulis sengaja menyodorkan pada awal tahun baru (Islam dan Masehi) ini tema lombok dan garam? Bukan karena famili penulis ada yang jadi jujugan garam atau lombok. Salah besar juga dong kalau dikira penulis punya rasa sentimentil (trauma sejarah) untuk memburuk-burukkan lombok atau membaik-baikkan garam —atau sebaliknya. Pertempuran militer Israel dan milisi Hamas (Palestina) —yang sedikitnya menelan 800an nyawa warga sipil di dua belah pihak hingga tulisan ini diketik; adalah memperjuangkan apakah lombok itu perlu dimanis-maniskan, diasin-asinkan, dikecut-kecutkan.

Awal Januari lalu kala konflik Jewish kontra Palestine sedang panas-panasnya, di sebuah koran nasional terbitan ibukota, penulis sempat menuliskan tentang perlunya solusi damai —tepatnya, juru damai yang bisa menjembatani kepentingan darah Yahudinya bangsa Israel dan klan Muslimnya suku bangsa Palestina. Tidak penting apakah juru damai itu person sekaliber Musa-Harun atau institusi internasional sekelas PBB. Toh, PPB memble, liga-liga bangsa Arab over penakut, OKI mandul, petinggi Amerika Serikat jadi pendiam —meski diam-diam ber-casciscus di belakang layar.

Dogma hidup di benak Zionis yang menganggap 1 nyawa Yahudi setara 1000 jiwa orang Muslim bisa jadi mengkatarsiskan posisi psikologis dan daya gedor mentalitas juang para Yahudi. Amatlah logis bila gertak sambal yang dilontarkan seluruh bangsa di dunia mengutuki kearogansian militer Israel tak mempan untuk menghentikan ekspansi negeri Zionis terhadap Tanah Palestina.

Yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kondisi bahwa Israel —yang orangnya memang dikaruniai otak encer-encer, berwajah ganteng, yang perempuan cantik dan jiwa petualang (ekspatriat)— ingin menawar bahwa lombok itu tak harus pedas dan garam itu tak lagi asin. Takutnya, kita secara diam-diam tak terasa mengiyakan kalau lombok itu bukan lombok, tetapi garam dan garam sendiri itu kita anggap bukan garam, melainkan gula.

Lantaran itu, apakah kita sudah tahu benar siapa musuh, siapa kawan, siapa provokator, siapa oportunis dalam konflik Israel vs Palestina. Mana lombok yang benar-benar berasa pedas, ada di mana garam orisinal yang bertekstur asin, dan mana asam, mana gulali-nya. Akibat kebanalan dan kealpaan, kita tidak pandai memfetakomplikan secara holistik permasalahan-permasalahan kompleks nan sophisticated itu. Inilah yang melatarbelakangi perang beratus-ratus tahun yang menceraiberaikan trahnya Nabi Ibrahim via permusuhan “abadi” anak-anak turunnya Nabi Ishak dan Baginda Ismail itu.

Kini muncul fenomena sosiokultural dimana banyak orang —entah dia pejabat, dosen, ulama atau yang diulama-ulamakan, poli”tikus”— yang tak segera becus memahami apa itu lombok? Ya sudah, dimaklumi dong kalau lombok itu tak harus pedas, garam tak lagi asin, asam pun bukan kecut lagi. Lombok itu garam, garam itu asam, asam itu gula, gula itu brotowali, brotowali itu lombok, lombok itu…terus muter tak ketulungan. Laakuwwataillaabillaah! (*)

*) Supadiyanto,

Kolumnis berbagai media cetak nasional dan lokal (email: padiyanto@yahoo.com; mobile: 08179947204)