! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 10

Manakah Pendawa, Yang Mana Kurawa?

Oleh Supadiyanto

Dalam jagat pewayangan (ringgit wacucal), pertarungan antara tokoh-tokoh yang tergabung dalam institusi bernama Pendawa kontra Kurawa menjadi epos klasik yang memberikan multihikmah bagi para generasi bangsa. Dari cerita-cerita heroik hingga pengkhianatan, nasionalisme sampai perselingkuhan, dan dunia kejahatan serta kebaikan terpacak manis dalam lakon-lakon yang diperankan oleh masing-masing tokoh, seperti Janaka, Yudistira, Werkudara, Nakula, Sadewa, Duryudana, Dursasana, Durma, Sengkuni, dll.

Di masa kini, khususnya dalam dunia politik, ternyata cerita Pendawa-Kurawa menghikmahi banyak peristiwa yang terjadi di negeri ini. Mereka yang kini tengah berperan sebagai tokoh-tokoh Pendawa maupun yang sedang melakonkan tokoh-tokoh Kurawa bisa disepadankan dengan dunia pewayangan.

Pesta demokrasi Pemilu Legislatif baru saja rampung 9 April 2009, delapan hari lalu. Kita sudah tahu Caleg yang kandas dan yang sukses duduk di kursi dewan. Kita mafhum juga Parpol-parpol tertentu yang meraup suara gemuk, kurus, hingga kelas gurem. Sejurus dengan itu, kita bisa dengan mudah mencermati di antara para politikus mereka yang berjiwa Pendawa dan mereka yang berperangai Kurawa. Pencitraan Pendawa sebagai pahlawan dan Kurawa sebagai oportunis jelaslah melukiskan kejembaran makna dalam tatanan nilai dan dialektika sosial di jagat raya ini. Jujur saja, pada saat ini mayoritas penduduk sedang mengalami kebingungan untuk memutuskan keputusan yang bijak dan benar, benar sekaligus bijaksana. Mengapa bisa demikian?

Dalam hati kita masing-masing tengah berkecamuk pertentangan batin: niat buruk, tetapi terkamuflasekan oleh propaganda yang dibikin-bikin; cenderung menjadi orang munafik (maksudnya tak mau mengakui dirinya bersalah, tapi mau menang sendiri); suka memprovokasi, sehingga orang lain terpancing untuk bertengkar, berkonflik. Dalam hati kita sudah terselimuti hawa nafsu angkara, ingin menguasai segalanya, egoistis sentris, sok alim, sok pintar (keminter), adigang, adigung, adiguna, dan berperilaku buruk lain.

Para politisi di negeri ini yang tengah bersiap menduduki jabatan-jabatan empuk —mulai dari kursi DPR/D, DPD, MPR, Menteri, hingga Presiden dan Wakil Presiden— kebanyakan terperosok dalam jurang ketokohan para Kurawa yang termonopoli oleh sikap kerakusan, tamak, barbar, narsisis, arogan. Bahasa-bahasa propaganda yang menyesatkan, iklan-iklan politik yang ambigus, retorika-retorika bahasa panggung politik yang membohongi hendaklah segera dihilangkan dari kamus politik Indonesia.

Menyimak catatan sejarah, sejatinya antara cerita Pendawa dan ketokohan Muhammad serta Khulafaurrasyidin itu sama, alias identik. Dalam sejarah Islam, tokoh seperti Umar bin Khattab, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan Baginda Rasulullah Muhammad adalah tokoh yang ingin digambarkan pada diri para tokoh Pendawa. Umar bin Khattab yang ksatria, tegas, disiplin laksana seorang tentara dinisbatkan sebagai Bima. Lantas, Abu Bakar yang moderat, diplomatis, bijaksana disepadankan dengan tokoh Arjuna. Usman bin Affan yang dermawan, hartawan, pengusaha, jujur dianalogikan sebagai Nakula. Ali bin Abu Thalib yang intelektual, cendekiawan, filsuf dipatronkan sebagai Janaka. Terakhir, Kanjeng Nabi Muhammad yang menyandang sifat-sifat intelektualis, jujur, bijaksana, pebisnis, negarawan dilukiskan sebagai Yudistira. Jagat pewayangan yang merupakan warisan adiluhung nenek moyang bangsa ini bisa kita pakai sebagai kaca benggala siapakah tokoh yang sedang kita perankan?

Berbahagialah kita seandainya memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki para Pendawa. Jangan sampai kita berperan atau terjebak menjadi tokoh Kurawa, baik sadar atau tidak. Seandainya pun kita sekarang masih bersifat seperti para Kurawa, tak ada kata terlambat untuk segera bertobat mengubah perilaku-perilaku buruk kita. Yang ditakutkan justru saat ini ketika banyak politikus lokal maupun nasional semakin gencar mempropagandakan slogan-slogan sakti mereka masing-masing. Bendera-bendera Parpol —yang jumlahnya pastilah lebih banyak dari jumlah bendera merah putih— meski telah banyak diturunkan, akan segera berkibar-kibar mengangkasa di segala penjuru Tanah Air.

Satu sisi, kita patut bergembira ria juga menyaksikan betapa demokratis dan bebasnya prosesi kampanye lima tahunan itu. Hanya saja, pada aspek lain, ada semacam kelimbungan dan kebingungan yang tengah dialami banyak di antara pemilih (pemula, madya maupun senior) untuk menentukan pilihan suara mereka dalam hajatan Pemilu Legislatif yang digelar pada tanggal 9 April 2009 kemarin, dan Pilpres 2009 mendatang.

Mungkin di dalam hati kita sedang kebingungan sendiri dalam memilih, memilah, dan menentukan mana tokoh Pendawa dan mana tokoh Kurawa itu? Mana tokoh-tokoh politikus yang berjiwa kapas dan mana pula yang berwajah hitam? Pertanyaan itu bisa sama sekali tak mudah terjawab karena kalau ternyata para politikus kita tak ada yang berjiwa Pendawa, melainkan terjerumus menjadi Kurawa semuanya, akan bingunglah kita. Kalau pun mereka adalah para Kurawa yang memoles wajah dan tampilan muka mereka dengan make up Pendawa, semakin tambah bingung lagi kita.

Duh Gusti Allah, pinjamkanlah barang sebentar saja mripat waskita-Mu kepada hamba-hamba-Mu ini dalam menyukseskan Pilpres 2009 yang sebentar lagi akan digelar. Semoga mereka dibekali mripat kewaskitaan yang mampu merabai, menembus mata hati apa-apa yang sebenarnya masih tersembunyi dalam benak para polikus di negeri ini. Yang manakah Capres Pendawa, mana pula yang Capres Kurawa itu? Blingsatan kita.

*) EspedE Ainun Nadjib; Kolumnis, mantan Redaktur Harian Rakyat Merdeka&Jawa Pos Radar Solo (padiyanto@yahoo.com//08179447204)