! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 5

Menjajal Kesaktian Pendekar Maiyah

Oleh : Supadiyanto

 

Sepanjang penghujung tahun 2008 ini—bakal ada kejutan-kejutan sosial. Salah satunya, Barack Hussein Obama—yang berkulit arang itu—sukses besar jadi Mr President di negeri Paman Sam. Jangan kaget pula, bila lantas kemudian besok di Afrika Selatan akan di-Presideni oleh “Mandela” berkulit putih. Di Indonesia, bisa jadi nanti RI 1-nya bermata sipit?

Mungkin itu adalah salah satu fenomena budaya, terkait akan segera munculnya Pendekar Maiyah. Semakin tinggi “sabuk hitam” kependekaran, jabatan, pangkat, ilmu kewaskitaan serta kearifan hidup yang dimiliki seseorang —harusnya semakin membuat riuh rendah, hilang rasa egoistisnya. Pun ia wajib semakin pendek tampilan senjata fisiknya dan kian hilang penampakan aksesoris sosok yang dimaksud hingga tak membikin takut orang awam. Seorang polisi yang baru sekelas pemagang, masih berpangkat Brigadir, tentu masih gemar memegang senjata laras panjang. Seorang tentara pemula juga masih fanatik atas ketentaraannya dengan memegangi bayonet dan baret baloknya kemana saja.  Seorang prajurit kraton berpangkat rendah selalu pede memegangi tombak yang ukurannya bermeter-meter itu. Lain halnya dengan seorang raja. Kian tinggi kedudukannya, makin pendek; bahkan tak perlu lagi senjata macam tombak, laras panjang, bayonet. Karena apapun yang dipegangnya bisa berubah menjadi tombak, pedang, bom dan apa saja sesuai bisikan hati yang dimauinya. Alih-alih hembusan angin hidungnyapun bisa menjadi senjata pertahanan yang mampu membombardir seluruh musuh—yang hendak mencelakainya.

Pun begitu dengan kedalaman ilmu agama yang dikantongi seseorang, bukan malah memprakondisikan individu pada posisi "tuhan" yang sok merasa hebat, merasa paling benar sendiri, terpandai —hingga menjebak sang pemeluk untuk menyombongkan diri di depan ego pribadinya.

Lantas, siapakah yang terpantas dipredikati sebagai Pendekar Nusantara alias Dwipantara, Pendekar Jagat dan Pendekar Maiyah itu? Tak lain sosok yang kuasa mempendekari atas identitas kediriannya, sekaligus menaklukkan kuasa atas kependekaran di luar kediriannya. Dalam konteks masa kini, trilogi jenis pendekar itu dapat terlahir dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan—bukan lantas terpaut pada kedugdengan olah fisik —kanuragan— seperti era klasik dinasti Majapahitan, Mataraman atau Padjadjaranan.

Penulis memprediksi—haqqulyaqin, baru nol koma sekian persen penduduk negeri ini; pernah mencerap kata Maiyah, sehingga melahirkan terminologi Pendekar Maiyah di atas. Konsep mentah Maiyah pernah ditawarkan Emha "Cak Nun" Ainun Nadjib—plus minus tiga belas tahun silam. Maiyah itu terpacak dari bahasa Arab, Ma'iyya. Karena lidah Jawa yang tidak bisa ke Arab-Araban itu, malah lebih keBelanda-Belandaan jadinya; lantas terkonversi menjadi Maiyah. Memang ujaran Maiyah lebih pas, estetis, smooth di dengar telinga orang Jawa dibandingkan Ma'iyya. Maiyah artinya melingkar, berputar. Hukum atau ilmu lingkaran itu tak ada ujung dan pangkal. Semuanya hanya terfokus oleh satu titik pusat, tepat di tengah pusara lingkaran tersebut.

Pendekar Maiyah yaitu pendekar yang mampu mengkoordinir seluruh pendekar —yang tak lain kita semua— agar selalu tunduk dan taat atas asas hukum lingkaran itu. Pendekar Maiyah menjadi batal-gugur kadar kependekarannya bila dia tak kuasa lagi membawa pencerahan bagi lingkungan di luar dirinya.

Pendekar Maiyah semacam inilah yang dibutuhkan dunia guna mempendekari ke-Dajjal-an dan semua bentuk kepalsuan hidup di atas jagat ini. Presiden Indonesia tak bisa secara otomatis menjadi Pendekar Dwipantara-Nusantara itu sendirian. Presiden SBY (Susah Banget Ya…??), maka logis kalau Wakilnya bernama JK (Jangan Kaget…!!), tak boleh mengklaim diri menduduki jabatan Pendekar Nusantara. Apalagi pangkat spiritual, Pendekar Jagat. Sedangkan dirinya saat ini tengah terombang-ambingkan oleh pendekar-pendekar yang mengelilingi dirinya. Dia hanya dijadikan obyek sasaran para pendekar sekitarnya guna mengeruk keuntungan pribadi. Keuntungan pribadi di sini bisa diartikan korupsi, kedudukan politis, jabatan empuk dan sebangsanya.

Logikanya kemunculan sosok Pendekar Maiyah, bakal langsung menjamin penjagaan atas amanah kehidupan untuk masuk menjadi Pendekar Dwipantara sekaligus Pendekar Jagat.
Selama ini, kita semua masih berada dalam kotak yang tersekat-sekat dalam sebuah kotak yang berlapis kotak-kotak yang selanjutnya lalu dimasukkan lagi kedalam kotak terkecil. Masing-masing dari kita menempati alam kotak terkecil dalam sebuah kotak yang terkotak-kotak lagi dalam kotak paling kecil itu.

Kotak terkecil itu bernama keprimordialitasan cara berfikir, kepentingan sesaat ragawi yang culas, kesempitan cara beragama—hingga tersesat dalam aliran sesat—tapi malah sesumbar menjadi golongan yang terakhir ke-71 bagi Yahudi, nomor ke-72 teruntuk Nasrani dan grup ke-73 khusus Islam yang terselamatkan oleh Tuhan. Semenjak alam intelektual, cara berfikir, paradigma logika keagaamaan kita ter-setting dan sengaja diatur, dipaksa secara otoriter meski lantas dibalut laa iqraaha fi ddiin-nya Islam, atau ruh ke-RuhulQuddusannya Nasrani, kesolidaritas sosialannya Lenin (yang Komunis-Islami tentunya), hingga keUzairannya Yahudi.

Seperti penulis, yang merasa telah dicekoki para ulama, kyai dengan cara berfikir Islam yang serba jumud, beku, kaku, tak fleksibel. Saya juga yakin, Anda yang meng-istiqamahi ajaran Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Darmogandul pasti suatu masa merasa diperalat oleh pendeta, pastur, rama, rahib dan sebagainya. Ini bukan sentimentil. Tapi muncul dari sebuah kesadaran diri, yang akan meruntuhkan keangkuhan "tembok Berlin agama" yang kerap menjerumuskan itu. Bukan malah mencerdaskan, mendewasakan logika dan kearifan hidup kita. Sebab metode ajaran agama pada saat ini hanya sebatas menjadi industri kapitalis pahala, yang mengumpulkan dan mengkalkulasi jumlah amal kebaikan dengan dosa. Bukan bertujuan untuk menggapai keridhaan Allah semata. Padahal puncak teologi agama adalah kebersatuan spiritual antara Allah dan hambaNya. Bahkan Muhammad, Isa, Musa dan lainnya sangat menganjurkan pada umatnya untuk bebas mengeksplorasi segala potensi diri.

Potensi fisik, peluang pemaksimalan kecerdasan alam spiritual maupun meliberalisasikan dan memoderatkan alam di luar diri. Muhammad sendiri tak pernah membunuh, dan jika tak terpojok sebisa mungkin ia masih menolelir untuk tak menusukkan pedang pada lambung lawan bila masih bisa berkelit dan menangkis. Model dakwahnya sangat moderat, otak beken, encer dan ces-pleng. Segala hujatan dimentahkan dengan argumentasi a la Plato, Socrates. Maksudnya, Plato dan Socrates-lah yang mencontoh kelihaian retorikanya Muhammad. Muhammad tak pernah sekalipun melecehkan Isa yang di Tuhan-Yesuskan oleh penganut Nasrani. Muhammad juga belum pernah melontarkan kritik terhadap Musa yang menjadi "sumber cahaya" bagi bangsa Yahudi-Israel.

Hanya para penganut kolot model kita sajalah yang membikin suasana keagaamaan serba panas, karena dipolitisir demi pemenuhan kebutuhan ekonomi kelompok mereka. Adanya Word War One dan Two itu kan hanya ilusi kelompok manusia yang getol berkeinginan memenuhi pundi-pundi emas kelompoknya saja. Alasan ideologis, yang menyebabkan terpantiknya PD I jelas mengada-ada saja. Apalagi dalih manusia guna mencapai puncak kematangan spiritual bagi kelompok agama tertentu, nol besar.

Semuanya, konflik, peperangan, pertumpahan darah, pertengkaran, adu jotos hanyalah bermotif ekonomi-politis belaka. Mau menjadi Pendekar Jagat, itulah seloroh Hitler yang di-back up sang diktator Mussolini dan dedengkot kekaisaran Jepang kala melancarkan Perang Dunia. Bagi pihak Amerika, Perancis, Inggris, Polandia, Belanda Perang Dunia cukuplah dijadikan industri perang, yang bertujuan mulia mengeruk SDA-M yang dimiliki negara-negara tempat jajahan. Tepatnya bukan menguasai negara, karena negara yang dijajah pada saat itu masih belum berbentuk negara, karena masih tercerai berai dan dikuasai penguasa lokal—para raja.

Pendekar Maiyah yang bisa mempendekari Kependekaran Nusantara plus Kependekaran Jagat adalah sosok pendekar yang bisa menjelma menjadi sosok Muhammad yang merakyat. Beliau tidak pernah memproklamasikan diri menjadi Nabi yang Meraja, melainkan lebih memilih menjadi Nabi yang Merakyat —Ngabdan Nabiyya. Atau sosok pendekar Isa yang meski berusia pendek —sang Mesias; yang bakal meluluhlantakkan Dajjal dipenghujung akhir kehidupan dunia nantinya— teramat relevan untuk dijadikan ikon bagi para Pendekar Maiyah itu. Bahkan kalau boleh melebihi kependekarannya Muhammad, kedugdengan-nya Musa, atau kewaskitaannya Isa sekalipun.

Bahkan Hitler sendiri yang NAZI —entah keyakinan model mana yang ditakzimi sosok yang "ksatria sejati" itu— pun dengan tekun mempelajari kitab suci Qur'an -meski secara sembunyi-sembunyi; hingga kekuasaannya hampir bisa menguasai seluruh daratan-lautan Eropa, Asia, Amerika, Australia, apalagi Afrika kalau mau. Sebab dirinya hanya ingin membuktikan pada Nabi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya, bahwa dirinya juga mampu bahkan melebihi kelebihan yang dimiliki Nabi yang diagung-agungkan oleh Milyaran penganut Muslim itu.

Seharusnya, kita, Anda, saya, anta, anti, antuma, atuma, antum, antunna…—juga boleh berfikiran radikal sebebas Hitler, namun tetap beretika sosial. Kesalahan Hitler adalah minus etika sosial. Bukankah semenjak kecil, kita semua telah di-ploting dan hanya dikondisikan untuk tak berfikiran radikal, bebas nilai? Jadilah dulu Pendekar Maiyah, minimal bagi dirimu sendiri. Nah, sudahkan anda berkenalan dengan diri anda sendiri? (*)

Jogja, 17 Mei 2007 

*) Supadiyanto; Kolumnis, padiyanto@yahoo.com, 08179447204

 

Edisi 4

Lebaran Menuju Indonesia “Baru”

Oleh : EspedE

 

Tanggal 1-2 Oktober 2008 lalu umat Muslim sejagat raya ber-Hari Lebaran. Hari yang amat sakral sekaligus urgen bagi perekonstruksian nasib bangsa ini menuju Indonesia “baru”. Bolehlah umur kita sudah tua renta, namun semangat jangan sampai kendur.

Realitas sosial memang menunjukkan ratusan juta warga miskin negeri ini tak bisa merayakan Lebaran kemarin dengan sumringah. Pasalnya, harga sembako dan kebutuhan hidup lain amat mahal saat ini. Selain itu, banyak yang tidak bisa mudik lantaran keterbatasan finansial.

 Terlepas dari permasalahan itu, kita boleh berharap semangat Lebaran ―yang menganjurkan tiap orang bermaaf-maafan— dapat mengurai problematika kompleks yang dihadapi bangsa ini agar sejarah Indonesia yang sarat catatan buruk berbagai bidang dapat terburai, hingga kita generasi muda dapat merekonstruksi masa depan bangsa ini.

Di tengah bingar —atau ketidaksumringahan?— perayaan Lebaran, marilah kita bersama meluangkan waktu untuk merefleksikan perjalanan bangsa ini. Tak kalah menarik jika kita juga mengintrospeksi kualitas kepemimpinan bangsa ini selama dipimpin 6 presiden yang pernah menjabat RI-1. Berapakah nilai rapor yang pantas kita berikan pada mereka masing-masing ―dalam memajukan pembangunan di negeri 8 juta km persegi ini? Siapa presiden yang pantas mengantongi nilai terbagus dalam memimpin rakyat Indonesia mencapai kemakmuran? Atau siapa pula presiden yang berhak menyandang predikat terburuk (rapor merah)?

Pantaskah mantan Presiden Soeharto ― sukses membikin harga sembako murah, memberantas kemiskinan itu— kita beri nilai “8”? Bung Karno-kah ―punya gaya retorika jempolan, kuasa menggelorakan kebebasan berdemokrasi― juga tak kalah pantas mendapat angka “9”? Begitupun Gus Dur, Megawati, Habibie, mana pantas mereka menenteng nilai rapor merah? Presiden SBY ―lengkap dengan kepopularitasannya― bukankah minimal angka “7” tertoreh dalam rapor kepemimpinannya, meski sekarang belum usai?

Jujur saja, amat sulit bagi orang awam untuk memberikan nilai rapor kualitas kepemimpinan enam presiden itu. Paling tidak ada dua alasan yang relevan dikemukakan, mengapa mereka kerepotan (sulit) memberikan nilai rapor .

Pertama, orang awam tak pantas berposisi sebagai “juri” sebab mereka tak punya cukup pijakan ilmu kuat, sehingga unsur subyektivitas lebih mendominasi. Padahal yang diperlukan justru nilai-nilai obyektivitas yang bertolak pada sekian parameter ilmiah. Sebagai contoh simple, masyarakat di dusun Kemusuk (Godean, Jogja) akan serempak setuju memberikan nilai “9” atau bahkan nilai “10”, malahan, untuk Soeharto. Perkaranya cukup sepele, warga  Kemusuk sana punya ikatan emosional kuat.

Lain lagi ceritanya kalau penulis menanyai orang-orang di Jombang (Jawa Timur) sana nilai rapor kepemimpinan Gus Dur. Pasti, tanpa banyak “cincong” lagi mereka langsung menyetempelkan angka “10” untuknya dan jika mereka dipaksa untuk memberikan nilai rapor pada presiden selain Gus Dur, angka merahlah yang keluar.

Kedua, secara sederhana tak lain karena dunia politik amat sensitif memicu berbagai konflik. Kesalahan orang awam dalam menilai perihal yang substansial ―seperti kasus di atas― pasti berpuncak pada konflik fisik.

Berdasarkan dua dalih di atas, memang cukup logis bila orang awam tak usahlah disuruh untuk menilai kepemimpinan enam presiden itu. Implikasi sosialnya jelas buruk; bakal berujung pada penilaian yang tak jujur (subyektif). Kendati lebih bijak jika urusan menilai itu dipasrahkan pada ahlinya, namun, hemat penulis, alangkah bagusnya jika Lebaran kali ini bisa dijadikan momen kebersamaan dalam menilai kualitas para pemimpin di negeri ini. Masalah apakah kita yang orang awam ini berhak atau tidak menjadi “juri” atas kebagusan atau keburukan nilai rapor para pemimpin negeri ini; semuanya kita serahkan saja pada Tuhan. Toh, kalau ternyata  nilai rapor para pemipin itu “merah semua”, jangan lantas kaget Anda!

*) EspedE,  Kolumnis berbagai media cetak nasional&lokal; email :padiyanto@yahoo.com//mobile: 08179447204

Edisi 3

Caleg, Capres, Calo, Apalagi?

Oleh : Supadiyanto,S.Sos.I

 

Ribuan orang kini ingin jadi pejabat publik —yang “wah” tenan. Buktinya, ribuan Calon Legislatif (Caleg) kini memperebutkan kursi dewan —tingkat daerah (propinsi, kabupaten/kodya) maupun pusat. Tak kalah seru, tidak sedikit pula orang yang memendam ambisi pribadi kebelet jadi Capres karena mungkin jabatan presiden itu dianggap setaraf raja, kaisar, bahkan nabi kalau boleh. Bagaimanapun, hingga kini belum ada aturan jelas mengenai kode etik yang wajib dipatuhi para Caleg dan Capres. 

Dapat dipastikan bahwa di bulan Ramadan ini ribuan Caleg dan Capres itu telah “berkampanye” dari masjid ke masjid, surau ke langgar; dari kampus hingga pesantren. Puncaknya, nampang di berbagai koran, teve, radio —meski harus merogok kocek milyaran rupiah hingga triliunan rupiah.

Bagi Anda yang tidak punya nyali menjagokan diri atau dijagojakan jadi Caleg dan atau Capres, jadilah Calo saja —sebagai obat kecele. Calo adalah semacam makelar, broker, pialang —yang penting, memiliki kreativitas  dalam bermain bisnis dengan menjadi pihak ketiga, atau keempat, dan seterusnya. Dengan begitu, kita bisa mencaloi para Caleg dan Capres itu untuk memenangkan adu hebat di Pemilu 2009 nanti.

Anda yang kebetulan aktivis kampus, atau seorang abangan, jadilah Calo agar mendapatkan “keuntungan materi” dari hajatan sekaliber Pemilu 2009. Kesempatan mendapatkan uang, berdekat-dekatan dengan para tim sukses dan jagoannya, atau minimal dapat melampiaskan beban psikologis karena kita sendiri tidak di-caleg-capres-kan. Jika Anda adalah ulama, tokoh masyarakat, intelektualis, apalagi Anda punya massa sekian ratus ribu orang, saat ini merupakan kesempatan emas menjadi Calo.

Persaingan antar Caleg-Capres pada Pemilu 2009 ini bakal berjalan seru. Tercatat pada Pemilu tahun depan dipastikan 38 Parpol (nasional) plus 6 Parpol Lokal (Aceh) siap tempur untuk meraih simpati ratusan juta penduduk negeri ini. Ribuan Caleg dari berbagai Parpol itu pasti tidak ingin “jago-jago” mereka kalah dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Sepanjang musim kampanye Pemilu Legislatif saat ini ratusan media massa cetak dan elektronik di Indonesia kian santer memasang iklan Parpol. Jelas, hal  itu menjadi berkah tersendiri bagi para pemilik media massa. Pantas juga jika para pemilik media itu disebut sebagai bosnya Calo.

Namun, yang sangat mengenaskan adalah bahwa hingga kini belum ada kode etik Caleg atau Capres. Amatlah layak bila para Caleg, Capres itu harus paham betul Kode Etik ”KECC” Caleg-Capres sebab panjangnya masa kampanye Pemilu Legislatif, yang ditetapkan selama 9 bulan (12 Juli 2008 - 5 April 2009), tentu riskan menimbulkan konflik, baik sesama Caleg, Capres, maupun para pendukungnya. Untuk itu, KECC menjadi solusi cerdas agar masing-masing Caleg dan Capres memiliki kesadaran dan etika dalam berkampanye. Seperti etika yang telah ditunjukkan oleh para Calo —yang justru sudah memahami keadilan sosial dalam mekanisme pembagian rejeki.

Diakui benar, kehadiran peraturan KECC di tengah masa kampanye Pemilu Legislatif ini menjadi rendesvous yang diharapkan mampu mencegah terjadinya konflik. Sepanjang bulan puasa (Ramadan) kali ini, seharusnya para Caleg-Capres itu kian gemar hidup bersahaja atau berprihatin. Jangan malah bulan Ramadan dijadikan ajang “kampanye busuk” dengan mengumbar janji di atas mimbar masjid, mushola, langgar, dan pesantren. Toh kalau nyatanya moralitas mereka bobrok, mau dibawa ke manakah nasib 224 juta penduduk bangsa ini? Mendingan daripada rugi luar-dalam; jadi Calo-Calo saja, meski beramai-ramai! Apalagi?

Penulis adalah: Instruktur Diklat Jurnalistik di Lingkungan TNI-AD; Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DIY) yang Kolumnis serta penulis buku: “Jadi Penulis Andal, Modal Dengkul (Taktik Jitu Menulis Opini di Berbagai Koran)”

Edisi 2

Pura-Pura Membodohi Tuhan

Oleh : Supadi ”EspedE” yanto, S.Sos.I*

 

Tak perlulah ikut kontes “Idol-Idola-an” di teve, butuh kepintaran khusus atau, apalagi, kesalehan sosial bila ingin cepat populer. Malah, idiot rasanya jika keluar banyak fulus. Cukup Anda jadi koruptor besar! Saya jamin minimal 224 juta orang di negeri ini lekas mengenal Anda.

Tak perlu kaget atau nggumun jika esok pagi si Anu tersandung skandal korupsi 100 milyar rupiah atau Pak Haji A —yang alim banget, terpaksa ngendon di hotel prodeo bersama puluhan kriminal lain akibat nguntet  5 juta USD.

Pertanyaannya kini, mengapa negeri orang yang religius ini kini justru jadi lahan subur bagi korupsi? Salahkah cara kita beragama mengingat para koruptor adalah penganut agama? Kelirukah mindset kita dalam menginterpretasi ideologi keagamaan kita, hingga ajaran agama “gagal” jadi penangkal penyakit moral bernama KKN? Jika negeri komunis, seperti China dan Rusia, justru menjadi negara yang jauh dari koruptor, bukankah tidak ada korelasi antara agama dengan budaya korupsi? Sederet pertanyaan ini tidak akan terjawab dengan mudah bila tidak dianalisis dengan kupasan filosofis yang melatarbelakangi motif terjadinya korupsi. Kenapa demikian?

Pertama, bila benar agama tidak berpengaruh terhadap budaya korupsi, maka ada hal yang lebih “substansial” dari sekedar ajaran agama. Terlibatnya mantan Menteri Agama  RI, misalnya, akibat terlibat dalam skandal korupsi jelas menunjukkan “anomali” tentang pengaruh positif agama terhadap budaya korupsi.

Logika beragama kita pasti menolak keras bila orang se-relijius mantan Menteri Agama berbuat korupsi atau serong. Mungkin dalih paling logis guna menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa kesalahan bukan terletak pada cara beragama beliau, melainkah kesahihan hukum nasional. Artinya, citra baik Mantan Menteri Agama Kabinet Gotong Royong itu tercoreng akibat ketidakbenaran hukum itu.

Bukankah hukum di Indonesia amat bisa diperjualbelikan layaknya nasi goreng? Ini bukan opini, tapi realitas sosial yang tidak dapat disangkal. Seorang Ketua Jaksa Tim-35 (baca: Urip Tri Gunawan) yang bertugas menangani skandal BLBI  justru tertangkap tangan “bermain api” dengan para obligor (debitur)-nya. Mudahkan membalikkan logika kebenaran hukum di Indonesia? Jadi, bukan pada kealpaan dalam pemelukan ajaran agama, tapi lebih pada kesalahan penafsiran hukum yang mudah direkayasa sosial.

Kedua, bila benar agama seseorang berpengaruh dalam menangkal budaya korupsi, tentu tidak ada pejabat berperilaku amoral karena pelaku korupsi umumnya orang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi pemerintah maupun swasta.

Orang awam tidak terjebak skandal korupsi karena tidak mempunyai peluang sedikitpun untuk bersinggungan dengan kekuasaan, wewenang, dan harta. Singkatnya, bila orang awam berposisi sebagai pejabat, mereka mungkin juga bakal melakukan korupsi.

Lantas, kalau bukan dengan penguatan pada ajaran agama, apakah solusi termanjur guna mengatasi korupsi dalam lingkup birokrasi negara? Satu-satunya langkah paling urgen guna mengatasi korupsi yakni dengan memaksimalkan konsep kesadaran diri dalam berempati sosial.

Seorang pemimpin (Presiden, Menteri, pejabat DPR/D, Gubernur, Bupati, dsb.) tidak seharusnya memanfaatkan peluang untuk “bermegah-megah” memuaskan nafsu egoistik. Sejalan itu, orang awam juga tak boleh “bercemburu sosial” melihat posisi penting pejabat dalam ranah birokrasi negara maupun struktur sosial. Orang awam yang belum berkesempatan jadi pejabat jangan merasa cemburu karena siapa tahu bakal tak kalah “jahat” jika berposisi sebagai pejabat yang kemudian menjadi koruptor kelas kakap.

Jangan dikira Tuhan tidur. Jangan pula berpura-pura membodohi Tuhan. Apa benar kita semua memang gemar menjadi kaum munafik—yang lain di hati, beda di mulut, kontras di tingkah laku—meski secara diam-diam ? Terang-terangan, apalagi?

Penulis adalah: Managing Director of  ICRC Jateng-DIY;  Ketua Umum PPWI-DIY; Penulis Buku: “Jadi Penulis Handal Modal Dengkul (Taktik Jitu Menulis Opini di Berbagai Koran)”

Edisi 1

Pecundang, Oportunis, atau Pendekar Sejatikah Anda?

Oleh : Supadi ”EspedE” yanto, S,Sos.I

(Kolumnis, Penulis Buku: Jadi Penulis Handal, Modal Dengkul)

Jika saat ini di hadapan Anda, saya suguhi tiga macam hidangan  serbagratis sekaligus —bakso (cap segawon), soto babat (merk indo), dan sate (babi)— pilih manakah? Bakso, suka tidak? Tidak salahkan kalau pilih sate (babi) yang cemokot, benar? Atau menu soto babat, jadi favorit Anda?

Fenomena budaya ini ditandai munculnya tren ”Mbladokan”. Artinya, asal ”lapar”Anda sikat habis semua —tanpa memerhatikan etika agama, aturan hukum, dan norma lain.

Apa yang Anda tahu secara detil ”ontran-ontran” yang menimpa Front Pembela Islam (FPI) belum lama ini? Marah sekaligus sedihkah Anda, sebab ormas Islam, yang acap kali men-sweeping tempat dugem itu, telah dibekukan? Merasa happy-kah kita sebab tidak ada lagi sipil yang semau gue memporakrandakan ”aset bisnis konglomerat”: bioskop, diskotik, pelacuran? Hingga jika kita mau fun di sana tak lagi ada ”nyamuk” yang menggigit.

Siapakah yang diuntungkan atas pembubaran FPI tersebut —sejurus dua jurus pasca kenaikan harga BBM? Senada itu, siapakah pihak yang paling diuntungkan secara ideologis, setting bisnis dan kalkulasi politis serta konstelasi kultural di Tanah Air maupun luar negeri atas tindakan pemerintah di atas?

Mengapakah pihak yang selalu menjadi (obyek sekaligus subyek) bulan-bulanan publikasi media massa selalu saja umat Muslim? Masih ingatkah Anda bahwa sebelum FPI, Ahmadiyah lebih dulu mencicipi ”cibiran miring” berbagai pihak? Bukankah Anda catat pula bagaimanakah saudara kita yang ber-istiqamah dalam aliran Al-Qiyadah ”Mushaddiq” Islamiyah direposisikan sebagai ”kambing putih” yang dihukumi aliran sesat (haram) —laik najisnya air liur anjing?

Pasca FPI mungkinkah ormas Islam, seperti Muhammadiyah, HTI, dan semacamnya bakal dipecah belah —seperti teori ”belah janur”. Mungkinkah mendekati Pemilu 2009 NU juga akan dicerai berai —sebanyak anggotanya. Umat Muslim dibikin mandul tujuh-sembilan-sepuluh turunan, dipaksa segera mungkin hengkang dari jabatan politis plus birokrastis di negeri ini?

 Bagaimanapun, ini masih prediksi orang sebodoh saya yang tak ”mudeng” logika politik para politikus. Meski demikian, saya rasa kita perlu sikap hati-hati, arif dan bijaksana dalam memandang semua permasalahan yang menimpa bangsa ini.

Singkatnya, yang ingin penulis tekankan di sini adalah seberapa kuatkah kita semua dalam memegang kunci kehidupan yang tak lain berupa hati (kabid, bukan qalbu) dan otak Anda. Cukuplah berpijak pada kehandalan piranti software bernama otak dan ekuilibrium kesucian rohani bernama hati tersebut; jalan yang kuasa membimbing umat manusia menuju Sang Khalik.

Bagaimanapun, kita semua butuh sikap arif bijaksana hingga menemukan produk kejeniusan yang bisa mengurai setiap persoalan pelik menjadi simple, bukan sebaliknya. Sebisa mungkin menghindari benturan fisik seperti adu jotos, letupan senapan, gesekan pedang atau tertancapnya moncong bayonet pada--ulu hati. Semoga berkenan, adanya. //

Jogja ”Sleman” karta, 10 Juni 2008