Menjajal Kesaktian Pendekar Maiyah
Oleh : Supadiyanto
Sepanjang penghujung tahun 2008 ini—bakal ada kejutan-kejutan sosial. Salah satunya, Barack Hussein Obama—yang berkulit arang itu—sukses besar jadi Mr President di negeri Paman Sam. Jangan kaget pula, bila lantas kemudian besok di Afrika Selatan akan di-Presideni oleh “Mandela” berkulit putih. Di Indonesia, bisa jadi nanti RI 1-nya bermata sipit?
Mungkin itu adalah salah satu fenomena budaya, terkait akan segera munculnya Pendekar Maiyah. Semakin tinggi “sabuk hitam” kependekaran, jabatan, pangkat, ilmu kewaskitaan serta kearifan hidup yang dimiliki seseorang —harusnya semakin membuat riuh rendah, hilang rasa egoistisnya. Pun ia wajib semakin pendek tampilan senjata fisiknya dan kian hilang penampakan aksesoris sosok yang dimaksud hingga tak membikin takut orang awam. Seorang polisi yang baru sekelas pemagang, masih berpangkat Brigadir, tentu masih gemar memegang senjata laras panjang. Seorang tentara pemula juga masih fanatik atas ketentaraannya dengan memegangi bayonet dan baret baloknya kemana saja. Seorang prajurit kraton berpangkat rendah selalu pede memegangi tombak yang ukurannya bermeter-meter itu. Lain halnya dengan seorang raja. Kian tinggi kedudukannya, makin pendek; bahkan tak perlu lagi senjata macam tombak, laras panjang, bayonet. Karena apapun yang dipegangnya bisa berubah menjadi tombak, pedang, bom dan apa saja sesuai bisikan hati yang dimauinya. Alih-alih hembusan angin hidungnyapun bisa menjadi senjata pertahanan yang mampu membombardir seluruh musuh—yang hendak mencelakainya.
Pun begitu dengan kedalaman ilmu agama yang dikantongi seseorang, bukan malah memprakondisikan individu pada posisi "tuhan" yang sok merasa hebat, merasa paling benar sendiri, terpandai —hingga menjebak sang pemeluk untuk menyombongkan diri di depan ego pribadinya.
Lantas, siapakah yang terpantas dipredikati sebagai Pendekar Nusantara alias Dwipantara, Pendekar Jagat dan Pendekar Maiyah itu? Tak lain sosok yang kuasa mempendekari atas identitas kediriannya, sekaligus menaklukkan kuasa atas kependekaran di luar kediriannya. Dalam konteks masa kini, trilogi jenis pendekar itu dapat terlahir dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan—bukan lantas terpaut pada kedugdengan olah fisik —kanuragan— seperti era klasik dinasti Majapahitan, Mataraman atau Padjadjaranan.
Penulis memprediksi—haqqulyaqin, baru nol koma sekian persen penduduk negeri ini; pernah mencerap kata Maiyah, sehingga melahirkan terminologi Pendekar Maiyah di atas. Konsep mentah Maiyah pernah ditawarkan Emha "Cak Nun" Ainun Nadjib—plus minus tiga belas tahun silam. Maiyah itu terpacak dari bahasa Arab, Ma'iyya. Karena lidah Jawa yang tidak bisa ke Arab-Araban itu, malah lebih keBelanda-Belandaan jadinya; lantas terkonversi menjadi Maiyah. Memang ujaran Maiyah lebih pas, estetis, smooth di dengar telinga orang Jawa dibandingkan Ma'iyya. Maiyah artinya melingkar, berputar. Hukum atau ilmu lingkaran itu tak ada ujung dan pangkal. Semuanya hanya terfokus oleh satu titik pusat, tepat di tengah pusara lingkaran tersebut.
Pendekar Maiyah yaitu pendekar yang mampu mengkoordinir seluruh pendekar —yang tak lain kita semua— agar selalu tunduk dan taat atas asas hukum lingkaran itu. Pendekar Maiyah menjadi batal-gugur kadar kependekarannya bila dia tak kuasa lagi membawa pencerahan bagi lingkungan di luar dirinya.
Pendekar Maiyah semacam inilah yang dibutuhkan dunia guna mempendekari ke-Dajjal-an dan semua bentuk kepalsuan hidup di atas jagat ini. Presiden Indonesia tak bisa secara otomatis menjadi Pendekar Dwipantara-Nusantara itu sendirian. Presiden SBY (Susah Banget Ya…??), maka logis kalau Wakilnya bernama JK (Jangan Kaget…!!), tak boleh mengklaim diri menduduki jabatan Pendekar Nusantara. Apalagi pangkat spiritual, Pendekar Jagat. Sedangkan dirinya saat ini tengah terombang-ambingkan oleh pendekar-pendekar yang mengelilingi dirinya. Dia hanya dijadikan obyek sasaran para pendekar sekitarnya guna mengeruk keuntungan pribadi. Keuntungan pribadi di sini bisa diartikan korupsi, kedudukan politis, jabatan empuk dan sebangsanya.
Logikanya kemunculan sosok Pendekar Maiyah, bakal langsung menjamin penjagaan atas amanah kehidupan untuk masuk menjadi Pendekar Dwipantara sekaligus Pendekar Jagat.
Selama ini, kita semua masih berada dalam kotak yang tersekat-sekat dalam sebuah kotak yang berlapis kotak-kotak yang selanjutnya lalu dimasukkan lagi kedalam kotak terkecil. Masing-masing dari kita menempati alam kotak terkecil dalam sebuah kotak yang terkotak-kotak lagi dalam kotak paling kecil itu.
Kotak terkecil itu bernama keprimordialitasan cara berfikir, kepentingan sesaat ragawi yang culas, kesempitan cara beragama—hingga tersesat dalam aliran sesat—tapi malah sesumbar menjadi golongan yang terakhir ke-71 bagi Yahudi, nomor ke-72 teruntuk Nasrani dan grup ke-73 khusus Islam yang terselamatkan oleh Tuhan. Semenjak alam intelektual, cara berfikir, paradigma logika keagaamaan kita ter-setting dan sengaja diatur, dipaksa secara otoriter meski lantas dibalut laa iqraaha fi ddiin-nya Islam, atau ruh ke-RuhulQuddusannya Nasrani, kesolidaritas sosialannya Lenin (yang Komunis-Islami tentunya), hingga keUzairannya Yahudi.
Seperti penulis, yang merasa telah dicekoki para ulama, kyai dengan cara berfikir Islam yang serba jumud, beku, kaku, tak fleksibel. Saya juga yakin, Anda yang meng-istiqamahi ajaran Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Darmogandul pasti suatu masa merasa diperalat oleh pendeta, pastur, rama, rahib dan sebagainya. Ini bukan sentimentil. Tapi muncul dari sebuah kesadaran diri, yang akan meruntuhkan keangkuhan "tembok Berlin agama" yang kerap menjerumuskan itu. Bukan malah mencerdaskan, mendewasakan logika dan kearifan hidup kita. Sebab metode ajaran agama pada saat ini hanya sebatas menjadi industri kapitalis pahala, yang mengumpulkan dan mengkalkulasi jumlah amal kebaikan dengan dosa. Bukan bertujuan untuk menggapai keridhaan Allah semata. Padahal puncak teologi agama adalah kebersatuan spiritual antara Allah dan hambaNya. Bahkan Muhammad, Isa, Musa dan lainnya sangat menganjurkan pada umatnya untuk bebas mengeksplorasi segala potensi diri.
Potensi fisik, peluang pemaksimalan kecerdasan alam spiritual maupun meliberalisasikan dan memoderatkan alam di luar diri. Muhammad sendiri tak pernah membunuh, dan jika tak terpojok sebisa mungkin ia masih menolelir untuk tak menusukkan pedang pada lambung lawan bila masih bisa berkelit dan menangkis. Model dakwahnya sangat moderat, otak beken, encer dan ces-pleng. Segala hujatan dimentahkan dengan argumentasi a la Plato, Socrates. Maksudnya, Plato dan Socrates-lah yang mencontoh kelihaian retorikanya Muhammad. Muhammad tak pernah sekalipun melecehkan Isa yang di Tuhan-Yesuskan oleh penganut Nasrani. Muhammad juga belum pernah melontarkan kritik terhadap Musa yang menjadi "sumber cahaya" bagi bangsa Yahudi-Israel.
Hanya para penganut kolot model kita sajalah yang membikin suasana keagaamaan serba panas, karena dipolitisir demi pemenuhan kebutuhan ekonomi kelompok mereka. Adanya Word War One dan Two itu kan hanya ilusi kelompok manusia yang getol berkeinginan memenuhi pundi-pundi emas kelompoknya saja. Alasan ideologis, yang menyebabkan terpantiknya PD I jelas mengada-ada saja. Apalagi dalih manusia guna mencapai puncak kematangan spiritual bagi kelompok agama tertentu, nol besar.
Semuanya, konflik, peperangan, pertumpahan darah, pertengkaran, adu jotos hanyalah bermotif ekonomi-politis belaka. Mau menjadi Pendekar Jagat, itulah seloroh Hitler yang di-back up sang diktator Mussolini dan dedengkot kekaisaran Jepang kala melancarkan Perang Dunia. Bagi pihak Amerika, Perancis, Inggris, Polandia, Belanda Perang Dunia cukuplah dijadikan industri perang, yang bertujuan mulia mengeruk SDA-M yang dimiliki negara-negara tempat jajahan. Tepatnya bukan menguasai negara, karena negara yang dijajah pada saat itu masih belum berbentuk negara, karena masih tercerai berai dan dikuasai penguasa lokal—para raja.
Pendekar Maiyah yang bisa mempendekari Kependekaran Nusantara plus Kependekaran Jagat adalah sosok pendekar yang bisa menjelma menjadi sosok Muhammad yang merakyat. Beliau tidak pernah memproklamasikan diri menjadi Nabi yang Meraja, melainkan lebih memilih menjadi Nabi yang Merakyat —Ngabdan Nabiyya. Atau sosok pendekar Isa yang meski berusia pendek —sang Mesias; yang bakal meluluhlantakkan Dajjal dipenghujung akhir kehidupan dunia nantinya— teramat relevan untuk dijadikan ikon bagi para Pendekar Maiyah itu. Bahkan kalau boleh melebihi kependekarannya Muhammad, kedugdengan-nya Musa, atau kewaskitaannya Isa sekalipun.
Bahkan Hitler sendiri yang NAZI —entah keyakinan model mana yang ditakzimi sosok yang "ksatria sejati" itu— pun dengan tekun mempelajari kitab suci Qur'an -meski secara sembunyi-sembunyi; hingga kekuasaannya hampir bisa menguasai seluruh daratan-lautan Eropa, Asia, Amerika, Australia, apalagi Afrika kalau mau. Sebab dirinya hanya ingin membuktikan pada Nabi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya, bahwa dirinya juga mampu bahkan melebihi kelebihan yang dimiliki Nabi yang diagung-agungkan oleh Milyaran penganut Muslim itu.
Seharusnya, kita, Anda, saya, anta, anti, antuma, atuma, antum, antunna…—juga boleh berfikiran radikal sebebas Hitler, namun tetap beretika sosial. Kesalahan Hitler adalah minus etika sosial. Bukankah semenjak kecil, kita semua telah di-ploting dan hanya dikondisikan untuk tak berfikiran radikal, bebas nilai? Jadilah dulu Pendekar Maiyah, minimal bagi dirimu sendiri. Nah, sudahkan anda berkenalan dengan diri anda sendiri? (*)
Jogja, 17 Mei 2007
*) Supadiyanto; Kolumnis, padiyanto@yahoo.com, 08179447204