! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 2

Pura-Pura Membodohi Tuhan

Oleh : Supadi ”EspedE” yanto, S.Sos.I*

 

Tak perlulah ikut kontes “Idol-Idola-an” di teve, butuh kepintaran khusus atau, apalagi, kesalehan sosial bila ingin cepat populer. Malah, idiot rasanya jika keluar banyak fulus. Cukup Anda jadi koruptor besar! Saya jamin minimal 224 juta orang di negeri ini lekas mengenal Anda.

Tak perlu kaget atau nggumun jika esok pagi si Anu tersandung skandal korupsi 100 milyar rupiah atau Pak Haji A —yang alim banget, terpaksa ngendon di hotel prodeo bersama puluhan kriminal lain akibat nguntet  5 juta USD.

Pertanyaannya kini, mengapa negeri orang yang religius ini kini justru jadi lahan subur bagi korupsi? Salahkah cara kita beragama mengingat para koruptor adalah penganut agama? Kelirukah mindset kita dalam menginterpretasi ideologi keagamaan kita, hingga ajaran agama “gagal” jadi penangkal penyakit moral bernama KKN? Jika negeri komunis, seperti China dan Rusia, justru menjadi negara yang jauh dari koruptor, bukankah tidak ada korelasi antara agama dengan budaya korupsi? Sederet pertanyaan ini tidak akan terjawab dengan mudah bila tidak dianalisis dengan kupasan filosofis yang melatarbelakangi motif terjadinya korupsi. Kenapa demikian?

Pertama, bila benar agama tidak berpengaruh terhadap budaya korupsi, maka ada hal yang lebih “substansial” dari sekedar ajaran agama. Terlibatnya mantan Menteri Agama  RI, misalnya, akibat terlibat dalam skandal korupsi jelas menunjukkan “anomali” tentang pengaruh positif agama terhadap budaya korupsi.

Logika beragama kita pasti menolak keras bila orang se-relijius mantan Menteri Agama berbuat korupsi atau serong. Mungkin dalih paling logis guna menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa kesalahan bukan terletak pada cara beragama beliau, melainkah kesahihan hukum nasional. Artinya, citra baik Mantan Menteri Agama Kabinet Gotong Royong itu tercoreng akibat ketidakbenaran hukum itu.

Bukankah hukum di Indonesia amat bisa diperjualbelikan layaknya nasi goreng? Ini bukan opini, tapi realitas sosial yang tidak dapat disangkal. Seorang Ketua Jaksa Tim-35 (baca: Urip Tri Gunawan) yang bertugas menangani skandal BLBI  justru tertangkap tangan “bermain api” dengan para obligor (debitur)-nya. Mudahkan membalikkan logika kebenaran hukum di Indonesia? Jadi, bukan pada kealpaan dalam pemelukan ajaran agama, tapi lebih pada kesalahan penafsiran hukum yang mudah direkayasa sosial.

Kedua, bila benar agama seseorang berpengaruh dalam menangkal budaya korupsi, tentu tidak ada pejabat berperilaku amoral karena pelaku korupsi umumnya orang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dalam birokrasi pemerintah maupun swasta.

Orang awam tidak terjebak skandal korupsi karena tidak mempunyai peluang sedikitpun untuk bersinggungan dengan kekuasaan, wewenang, dan harta. Singkatnya, bila orang awam berposisi sebagai pejabat, mereka mungkin juga bakal melakukan korupsi.

Lantas, kalau bukan dengan penguatan pada ajaran agama, apakah solusi termanjur guna mengatasi korupsi dalam lingkup birokrasi negara? Satu-satunya langkah paling urgen guna mengatasi korupsi yakni dengan memaksimalkan konsep kesadaran diri dalam berempati sosial.

Seorang pemimpin (Presiden, Menteri, pejabat DPR/D, Gubernur, Bupati, dsb.) tidak seharusnya memanfaatkan peluang untuk “bermegah-megah” memuaskan nafsu egoistik. Sejalan itu, orang awam juga tak boleh “bercemburu sosial” melihat posisi penting pejabat dalam ranah birokrasi negara maupun struktur sosial. Orang awam yang belum berkesempatan jadi pejabat jangan merasa cemburu karena siapa tahu bakal tak kalah “jahat” jika berposisi sebagai pejabat yang kemudian menjadi koruptor kelas kakap.

Jangan dikira Tuhan tidur. Jangan pula berpura-pura membodohi Tuhan. Apa benar kita semua memang gemar menjadi kaum munafik—yang lain di hati, beda di mulut, kontras di tingkah laku—meski secara diam-diam ? Terang-terangan, apalagi?

Penulis adalah: Managing Director of  ICRC Jateng-DIY;  Ketua Umum PPWI-DIY; Penulis Buku: “Jadi Penulis Handal Modal Dengkul (Taktik Jitu Menulis Opini di Berbagai Koran)”