Lebaran Menuju Indonesia “Baru”
Oleh : EspedE
Tanggal 1-2 Oktober 2008 lalu umat Muslim sejagat raya ber-Hari Lebaran. Hari yang amat sakral sekaligus urgen bagi perekonstruksian nasib bangsa ini menuju Indonesia “baru”. Bolehlah umur kita sudah tua renta, namun semangat jangan sampai kendur.
Realitas sosial memang menunjukkan ratusan juta warga miskin negeri ini tak bisa merayakan Lebaran kemarin dengan sumringah. Pasalnya, harga sembako dan kebutuhan hidup lain amat mahal saat ini. Selain itu, banyak yang tidak bisa mudik lantaran keterbatasan finansial.
Terlepas dari permasalahan itu, kita boleh berharap semangat Lebaran ―yang menganjurkan tiap orang bermaaf-maafan— dapat mengurai problematika kompleks yang dihadapi bangsa ini agar sejarah Indonesia yang sarat catatan buruk berbagai bidang dapat terburai, hingga kita generasi muda dapat merekonstruksi masa depan bangsa ini.
Di tengah bingar —atau ketidaksumringahan?— perayaan Lebaran, marilah kita bersama meluangkan waktu untuk merefleksikan perjalanan bangsa ini. Tak kalah menarik jika kita juga mengintrospeksi kualitas kepemimpinan bangsa ini selama dipimpin 6 presiden yang pernah menjabat RI-1. Berapakah nilai rapor yang pantas kita berikan pada mereka masing-masing ―dalam memajukan pembangunan di negeri 8 juta km persegi ini? Siapa presiden yang pantas mengantongi nilai terbagus dalam memimpin rakyat Indonesia mencapai kemakmuran? Atau siapa pula presiden yang berhak menyandang predikat terburuk (rapor merah)?
Pantaskah mantan Presiden Soeharto ― sukses membikin harga sembako murah, memberantas kemiskinan itu— kita beri nilai “
Jujur saja, amat sulit bagi orang awam untuk memberikan nilai rapor kualitas kepemimpinan enam presiden itu. Paling tidak ada dua alasan yang relevan dikemukakan, mengapa mereka kerepotan (sulit) memberikan nilai rapor .
Pertama, orang awam tak pantas berposisi sebagai “juri” sebab mereka tak punya cukup pijakan ilmu kuat, sehingga unsur subyektivitas lebih mendominasi. Padahal yang diperlukan justru nilai-nilai obyektivitas yang bertolak pada sekian parameter ilmiah. Sebagai contoh simple, masyarakat di dusun Kemusuk (Godean, Jogja) akan serempak setuju memberikan nilai “
Lain lagi ceritanya kalau penulis menanyai orang-orang di Jombang (Jawa Timur) sana nilai rapor kepemimpinan Gus Dur. Pasti, tanpa banyak “cincong” lagi mereka langsung menyetempelkan angka “
Kedua, secara sederhana tak lain karena dunia politik amat sensitif memicu berbagai konflik. Kesalahan orang awam dalam menilai perihal yang substansial ―seperti kasus di atas― pasti berpuncak pada konflik fisik.
Berdasarkan dua dalih di atas, memang cukup logis bila orang awam tak usahlah disuruh untuk menilai kepemimpinan enam presiden itu. Implikasi sosialnya jelas buruk; bakal berujung pada penilaian yang tak jujur (subyektif). Kendati lebih bijak jika urusan menilai itu dipasrahkan pada ahlinya, namun, hemat penulis, alangkah bagusnya jika Lebaran kali ini bisa dijadikan momen kebersamaan dalam menilai kualitas para pemimpin di negeri ini. Masalah apakah kita yang orang awam ini berhak atau tidak menjadi “juri” atas kebagusan atau keburukan nilai rapor para pemimpin negeri ini; semuanya kita serahkan saja pada Tuhan. Toh, kalau ternyata nilai rapor para pemipin itu “merah semua”, jangan lantas kaget Anda!
*) EspedE, Kolumnis berbagai media cetak nasional&lokal; email :padiyanto@yahoo.com//mobile: 08179447204