Pundhi Brambang, Mana Bambang, Where's Blumbang
Oleh Supadiyanto
Di depan saya sekarang ada bumbu pawon sekelas brambang. Hem...lumayan berbau sengak memang, tapi tetap enak kok untuk menguleki sambal kacang. Sedang di belakang saya saat ini juga ada blumbang, beraroma khas memang, tetapi nyamleng kok untuk sekedar menuntaskan hajat kita. Eeh belok kanan atau kiri sedikit saja; saya kok bisa bersua dengan Saudara Bambang. Orangnya ciamik emang, tapi....(rahasia dong?).
Mungkin juga kalau saya pinjam barang satu, dua detik aji-aji terbang melayang kayak Gatot Kaca atau Batman, bisa sih ketemu bawang, rekan seperkongsianladanya brambang. Nah kalau ke bawah sesenti saja, siapa yang menyangka nanti saya bisa diperjamui dengan bintang-bintang. Bintang tujuh, bintang Merkuri, bintang laut, bintang film, pulau Bintan(g), bintang porno, bintang Pildacil, bintang lapangan; pokoknya asal bukan bin dan tang. Ada tiga kata kunci, satu brambang, dua Bambang dan tiga blumbang.
Ojo keliru dulu sampeyan, ini tulisan bukan untuk membikin guyonan ala Srimulatan yang bisa bikin perut keroncongan, dangdut-an mentoknya pop-an. Dari kejauhan sono, weladhalah...tanpa babibu ada rekan saya yang langsung nyelonong menohok saya. Sampeyan itu mau bikin ramuan sakti ala Madura apa; lha kok judulnya dikasih unen-unen yang nyentrik begitu; tanya dia penuh selidik ala agen intel magangan. Lho tidak to Rek, celoteh saya, sampeyan niku memangnya mata-mata CIA apa, KGB, po Mossad, BIN po piye?
Lega hati ini melihat begitu banyak Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI yang dijago-babonkan untuk menduduki RI-1 dan RI-2. Lihat itu ada empat senopati yang trengginas, benar. Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso dan tentu Susilo Bambang Yudhoyono. Tinggal mau diilmuhikmahi bagaimana,empat-empatnya berwajah ganteng, sugih mbrewu, moncer intelektualitasnya, militeris, ngedap-edapi strategi propaganda,jaringan sosial mirip-mirip sarang laba-laba serba terkoneksi dari ujung luar negeri sampai pucuk dalam negeri. Wah pokoknya tak bisa dicari bandingannya. Bombong sekaligus mongkok juga perasaan ini, begitu Sri Sultan HB X tak kalah taktis langsung memasang diri menjadi Capres. BUkankah darah yang mengalir dalam diri Kanjeng Sinuwun Herjuno Darpito itu mengalir darah ningrat, raja-raja Mataram yang bersumber dari Sri Sultan HB IX yang tak lain foundhing father bangsa ini. Amati lagi lebih mendetil, bagaimana Sultan menitisi trah raja-raja Jawa, mulai dari raja-raja kerajaan Mataraman-Majapahitan-Singosarian sampai kahuripan. Tak kalah bangga pula saya menganalisis bertenggernya sang Srikandi, Megawati Soekarno Putri, anak kandung sang Proklamator Presiden Soekarno. Rasanya tak ada yang diragukan lagi dari kapasitasnya sebagai seorang Presiden(wati) RI. Beliau pernah menduduki Istana Negara, memiliki kearifan sosial yang keibuan, intelektualitas tak disanksikan lagi lha wong jutaan penduduk mengikrarkan diri rela sehidup semati dengan beliau dan mendudukkannya dalam puncak kekuasaan partai gemuk, banteng bermoncong putih bersih.
Wah happy juga sepasang mata minus ini melihat ada Yusril Ihza Mahendra, Jusuf Kalla, Soetrisno Bachir, Rizam Ramli juga siap memegang tampuk kekuasaan tertinggi di negeri berpenghuni 230 juta jiwa ini. Berbicara soal kadar kenegarawanan para Capres dan Cawapres yang disebut tadi, siapa yang berani melawan ketangguhan mereka. Ilmu demokrasi dari negerinya Barack Obama sudah mereka khatami, sampai-sampai tak ada teori demokrasi yang tersisa dari sana. Klenik-klenik budaya dari Jerman, Timur Tengah juga sudah terwisudai dalam benak-benak para calon pemimpin-pemimpin itu.
Apalagi teori Jawa, kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga dogma-dogma seputar kenabian entah dalam agama Yahudi, Nasrani maupun Muslim, komunis, Konghuchu, Darmogandul...; pasti sudah di luar benak mereka. Jangan dikira dulu itu Gus Dur, ini Amien Rais dan sang arsitek pesawat N-250 BJ. Habibie sudah lempar handuk dalam kompetisi perebutan RI-1 dan RI-2. Bisa-bisa mereka bertiga sedangpasang kuda-kuda, kalau-kalau "para muridnya" tak becus menjadi "Bambang dan Bambung". GUs Dur meski sudah bukan Ketua Umum PKB lagi, nanti tiba-tiba di-Capreskan "poros pesisir Laut Selatan" dan menohok "poros-porosan"; jangan kaget Anda. Bang Amien Rais meskipun sudah "sepuh", hulu ledak propagandanya masih mingis-mingis sekaliber "Tan Malaka" yang nggegirisi. Diam-diam BJ Habibie kalau menyiapkan "batalionan" elit-elit politik yang kini menyaru dalam 44 Parpol yang turut dalam Pemilu kali ini; jangan pula Anda kebakaran jenggot. Dalam politik tak ada yang mustahil, memang. Hal-hal yang serba musykil jadi mungkin, dan perkara-perkara yang mungkin bisa jadi amat mustahil bin impossible. Penggila bola mengatakan, bola itu bundar. Penggila orang gila mengungkapkan orang gila itu pasti mengakui ia tidak gila. Penggila sate menyela, sate itu bukan seta, apalagi etas. Tetapi yang pasti, penggila politik menyatakan, politik itu gila.
Pun saya benar-benar bungah melimpah ruah kala memeloti tampilnya jutaan Caleg DPR/D, Caleg DPD RI yang siap sedia menjadi wakil-wakil rakyat yang bakal bergaji minimal 13-100 juta rupiah perbulan. Weh-weh...ngiler saya, gaji saya berapa? Gajinya tukang ojek itu berapa ratus kali lipat lebih kecil dari gaji wakil rakyat itu? Betapa kampiunnya kehidupan negeri ini. Setiap lima tahun sekali berpesta-pesta pora merayakan Pemilu Legislatif dan Pilpres. Belum lagi ditambah dengan perayaan Pilkadabup, Pilkadagub, Pilkades dan kalau perlu wajib pula diadakan Pilkadacam, Pilkadart-rw. Melongok dari segi kaderisasi kepemimpinan di negeri ini; jelas no problems dengan Indonesia. Tak ada persoalan dengan masalah demokrasi, demokratos; kata yang dicerabut dari negeri sebarang sana. Pakdhe "demos" dan Mbokdhe "kratos" tampaknya sudah amat men-Jawa, meng-Indonesia sekali.
Buktinya, sekarang ada upaya-upaya serius untuk mem-Presiden-kan raja dan merajakan presiden. Artinya, kita kini sedang berkeinginan untuk memiliki sosok raja yang presiden dan presiden yang raja. Bukan raja yang gubernur atau gubernur yang raja. Sebab nanti kalau kultur monarkhis-demokratis itu tak dipenggal haluannya, lama-lama bisa mungkret ada raja yang jadi Bupati/walikota, bahkan raja yang Camat atau Kades. Jelas-jelas kita sudah menjadi negara yang paling demokrastis di Indonesia. Belum pernah ada kudeta-kudetaan dalam sejarah pergantian kepemimpinan nasional di negeri ini. Justru antara calon pemimpin pandai kritik-mengkritik, bukan dengan baku hamtam, adu jotos seperti di negeri-negeri yang tingkat peradaban manusianya rendah. Kita boleh berbangga diri menjadi bangsa Indonesia karena dalam diri kita masing-masing (ya darah, entah tulang belulang, pun usus) mengalir darah kakek-nenek moyang kita seperti Hayam Wuruk, Gadjah Mada, Ken Arok, Ki Ageng Pemanahan, Sultan Agung Hanyokrokusumo dan semuanya berpangkal pada gen Muhammad-Isa-Ismail-Ibrahim-Nuh-Adam. Dus kalau ternyata dalam darah kita masing-masing menitis roh-roh orang-orang sebesar dan semulia di atas; bukankah masalah mentalitas, setting psikologis kepemimpinan dan persoalan keunggulan gen; kitalah yang nomor wachid sejagat raya ini.
Toh tak ada persoalan lagi, kita pandai sekali merekayasa suasana batin, membolak-balikkan ironisitas psikologis, meng-up grade kacanggihan intelektualitas kita; maka pantaslah bila kemudian dalam hajatan demokrasi tahun ini; begitu membludak stok calon-calon pemimpin nasional. Yah, tak ada masalah barang sedikitpun dengan bangsa ini. Entah ada banjir meradang, gempa mengkoyak-koyak, luapan lumpur abadi, tsunami tertsunami atau bentuk musibah alam bagaimanapun; kita tetap pandai memain-mainkan perasaan kita. Begitu Sungai Bengawan Solo meluap, meski ribuan rumah kebanjiran; toh lihat itu banyak orang cengar-cengir ketika terekam kamera teve; tetap cascus kepulan rokoknya kendati utang menumpuk; selalu gemar berbelanja di mal, walaupun kantong mulai menipis. Ada pula mereka yang berani tetap kredit sepeda motor atau mobil meskipun gaji cukup setengah juta rupiah perbulan.
Hebat betul, benar-benar tangguh mentalitas kenekadan penduduk bangsa ini; tak ada penduduk bangsa lain yang membakati ketangguhan mentalitas Nabi Nuh mengarungi badai tsunami berbulan-bulan; tiada pula sosok-sosok orang yang mewarisi kepandaian berdiplomasi Nabi Harun-Musa kecuali bangsa Nusantara ini. Orang-orang Java, yang memiliki ilmu jiwa Jawa yang berhati wening, bening; itu penting. Tak bisa tidak kita tidak bisa membicarakan pergantian pucuk kepemimpinan negeri ini, tanpa menyangkutpautkan dengan awu-nya orang Jawa. Meski rentang usia manusia-manusia Indonesia, orang Nusantara, wong Jawa itu hanya rata-rata berusia 70 tahun; namun senyatanya dalam cetak biru otak dan mentalitas mereka itu telah memiliki darah daging orang berusia ratusan tahun, 500 tahun, 700 tahun atau bahkan setara Baginda Nuh yang bisa berusia 900 tahun. Kembali berbicara soal kepemimpinan nasional di Indonesia, tak ada yang tak beres, bukan? Semuanya serbayes, beres..res...res..Nihil cacat. Karena siapapun yang memimpin negeri ini, ia adalah anak turun orang-orang sakti siapapun yang pernah mengerami bumi Nusantara menjadi negeri sehebat sekarang. Meski ada sih koruptor di sana-sini, toh itu sebagai "bentuk protes" atas ketakberesan sistem hukum yang berlaku. Wajarlah kiranya, sebab ketika zaman Baginda Rasullullah Muhammad saja masih ada banyak juga pejabat yang juga bermental koruptor, apalagi sekarang. Mencermati menjamurnya kemunculan para calon pemimpin nasional itu; jangan-jangan pula dalam hati kecil kita masing-masing juga terbersit keinginan untuk menjadi Capres, yo minimal Cawapres-lah.
Nah kalau begitu, mbok saya usul, agar semua bisa terakomodir bikin saja RI-1,5, RI-2,5, RI-3,6, RI-0,5 dan seterusnya. Kalau perlu itu Bantul jadi negara Bantul, biar Bupati dan Wakil Bupatinya langsung jadi Presiden-Wakil Presiden Bantul. Magelang nanti beribukota negara Muntilan, sehingga kalau orang-orang Sleman nyebrang ke Kota Magelang bisa bilang pergi keluar negeri dan harus mengurus visa. Warga luar negeri di Palu sana, biar suka melancong ke kawasan internasional negeranya Bandung atau Aceh. Tetapi kan ini hanya guyon saja, biar otak tak cepat spaneng, stres, stroke terus titik koma,lantas titik (mati).
Biar nanti tak ada lagi kompetisi Pilpres dan Pemilu Legislatif butuh biaya semahal saat ini. Bayangkan saja, separuh pendapatan negara selama satu periode (lima tahun) pemerintahan sepenuhnya hanya dihabis-habiskan untuk membiayai pesta-pesta pora demokrasi itu. Terlalu absurd memang, tetapi tetap dilogis-logiskan oleh para intelektual hanya demi dan demi memperoleh kedudukan, jabatan yang mentereng.
Lagi-lagi, sekonyong-konyong rekan saya tadi menohok saya dengan kritikan pedas, mengapa selalu saya tidak mengkritisi para Capres-Cawapres itu? Seloroh saya dalam hati, buat apa mencari borok, mengkritik mereka; kan merusak pasaran para “tim sukses” Capres-Cawapres dan Caleg itu. Soal saya sudah berikhlas diri memilih jadi “tim gagal” jauh-jauh hari sebelum SBY-JK jadi presiden hingga mau “berkelahi' lagi untuk merebutkan “dua kerat tulang” bernama RI-1 dan RI-2 itu.
"Kalau orang sudah super kaya,jadi konglomerat yang perutnya bundar sebundar bola basket ('he..he..wah sudah berapa bulan mengandungnya Pak', katanya Pak Harwanto Dahlan; bukan Dahlan Iskan atau Ahmad Dahlan lho?); kalau tak ingin menambah deret istri (sah maupun tidak sah, semi sah) dan menduduki jabatan pemerintahan yang mentereng; mau apalagi?". Tapi itu cuma celetukan rekan saya tadi yang kebetulan gemar memakan brambang, suka berak di blumbang dan ndemen banget adu jotos dengan saudaranya Bambang. Entah benar apa tidak; terserahlah! (*)
Gedung MPR-DPD RI, 09 Februari 2009
*) Supadiyanto, bukan Capres; sekedar Kolumnis (ganteng) (email: padiyanto@yahoo.com; mobile: 08179447204)