! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 11.

Pemimpi, Pemimpin, Pemimpin Pemimpi,

Pemimpi Pemimpin

Oleh : Supadiyanto

Beda-beda tipis memang antara pemimpi dan pemimpin. Perbedaan kentara pemimpin dan pemimpi cukup terletak pada buntut huruf itu, yakni “N”-nya. Coba simak, minimal ada empat jenis pemimpin, mungkin juga ada empat jenis pemimpi.

Pemimpin jenis pertama yakni pemimpin pemimpi. Tipologi pemimpin macam ini gemar sekali bermimpi muluk-muluk, tetapi tanpa menyertainya dengan usaha konkrit, upaya rasional, dan ikhtiar yang sungguh-sungguh. Pemimpin impian bisa jadi jenis pemimpin selanjutnya —yakni pemimpin harapan bagi banyak kalangan. Jenis pemimpin ini hampir tak ada dalam dunia nyata, melainkan sekedar angan-angan dan pengharapan dari alam bawah sadar umat manusia. Pemimpin impian dalam khasanah budaya Jawa mirip dengan mitos Ratu Adil, Satriya Piningit, dan semacamnya. Jenis pemimpin ketiga yaitu pemimpin tanpa impian. Inilah karakteristik pemimpin yang tak memiliki cita-cita luhur, adanya hanya kemauan pribadi, kepentingan kelompok, dan ambisi menguasai semata tanpa memikirkan kesejahteraan nasib rakyat. Adapun jenis pemimpin keempat yakni pemimpin bermimpi pemimpin impian. Mayoritas pemimpin mengalami “stereotipe” jenis ini. Para pemimpin (yunior) otomatis terdikte oleh gaya kepemimpinan pendahulu-pendahulunya (senior) —entah kepada para pemimpin senior yang berprestasi baik maupun ber-track record buruk. Seorang pemimpin yang bermimpi jadi pemimpin impian mempunyai semangat ego kepemimpinan untuk mempersembahkan kualitas kepemipinan terbaiknya demi kamajuan rakyat.

KPU Pusat dan KPUD bersama rakyat Indonesia boleh dibilang sudah sukses menggelar Pemilu Legislatif, kendati di sana-sini menuai protes. PR utama yang masih tersisa kini yakni tinggal menghelat Pilpres 8 Juli 2009. Mungkinkah bangsa ini kuasa memiliki para wakil rakyat (DPR/D, DPD RI) serta presiden-wakil presiden serta menteri yang nantinya benar-benar bisa memperjuangkan nasib rakyat hingga terbebas belitan kemiskinan dan kebodohan?

Pesta demokrasi bernama Pilpres itu teranglah merupakan pintu gerbang bagi masa depan Indonesia; apakah bangsa ini akan terus terseok dalam kubangan nasib buruk, stagnan alias idem kondisi saat ini, atau justru mulai menuai kondisi cerah. Pemilu Legislatif memang sudah usai; sementara ini kita sudah tahu siapa-siapa saja para wakil rakyat yang terpilih untuk berkantor di gedung-gedung dewan.

Kampanye Pilpres juga sudah di ambang pintu. Sudah dipastikan bahwa para Capres-Cawapres akan sibuk dengan propaganda masing-masing. Para pejabat negara, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, Gubernur, Bupati/Walikota, dan lainnya, menjelang hari H Pilpres 2009 juga “dipaksa” untuk berkampanye —baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Implikasinya, pastilah roda pemerintahan agak terganggu. Rakyat sendirilah yang bakal dirugikan akibat kondisi demikian. Banyaknya para pejabat negara yang mengambil cuti pada masa kampanye Pilpres mendatang juga terang membikin roda pemerintahan baik di tingkat pusat hingga daerah bakal terganggu. Kita berharap, kerisauan (penulis) di atas sudah terantisipasi agar tak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 bernilai strategis dalam merealisasikan Indonesia masa depan. Pasalnya, dua hajatan demokrasi di atas tak saja bertujuan memilih para pemimpin untuk didudukkan pada kursi jabatan DPR, DPRD, DPD RI serta Presiden-Wakil Presiden RI semata, melainkan juga memilih secara langsung para pemimpin sejati yang berani bermimpi visioner.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalkan, harus terus-menerus berkaca diri pada capaian-capaian keberhasilan yang direngkuh oleh para pemimpin seniornya seperti Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wachid, BJ Habibie, Soeharto, dan Soekarno. Ia juga harus terus menjadikan kegagalan-kegagalan yang terjadi dalam pemerintahan sebelumnya sebagai bahan pembelajaran untuk mengambil tindakan atau keputusan strategisnya.

Begitu pula bagi Presiden-Wakil Presiden RI yang bakal terpilih dalam Pilpres 8 Juli 2009 mendatang—siapapun mereka, harus selalu bercermin dan menjadikan para pemimpin senior sebagai teladannya. Akan tetapi, patut dicatat bahwa tak ada larangan bagi para pemimpin itu untuk menjadikan para nabi dan rasul serta tokoh-tokoh legendaris dunia lainnya menjadi panutan spiritual mereka.

Rakyat sendiri, sebagai nukleus yang maha penting dalam pembentukan munculnya posisi pemimpin, tetap harus terus memberikan perhatian khusus pada para pemimpin bangsa ini. Adanya pemimpin berkat keberadaan rakyat. Tanpa ada pemimpin, rakyat masih bisa bertahan hidup. Tetapi tanpa rakyat, pemimpin tidak ada artinya apa-apa. Apalagi, posisi para wakil rakyat (anggota DPR/D dan DPD RI) jelas “kastanya” jauh lebih rendah dari rakyat sebab mereka hanya wakilnya rakyat, pesuruhnya rakyat.

Jadi, kalau kita dipercaya sebagai pemimpin/wakil rakyat via Pemilu Legislatif 2009 kemarin dan Pilpres 8 Juli 2009 besok, jangan sekali-kali menyia-nyiakan rakyat, apalagi angkuh dan congkak di hadapan 230 juta jiwa penduduk negeri ini. Bukankah tak jadi pemimpin, minimal kita bisa menjadi pemimpi. Ya, minimal lagi menjadi pemimpin pemimpi atau tukang pemimpi pemimpin. Oh, begitu ya? (*)

*) EspedE Ainun Nadjib, Kolumnis (e-mail:padiyanto@yahoo.com)

Edisi 6.

Lombok Tak Lagi Pedas, Garam Tak Harus Asin

Oleh Supadiyanto

Di bagian-bagian bumi manapun —entah di Columbia sana, di Jalan Colombo situ (jalan depannya kampus UNY), di New York, ataupun di Nyutran dusun sebelah— sejak zaman pra Adam hingga pasca Muhammad nanti, lombok itu ya tetap pedas. Dari masa prasejarah sampai zaman pos-historis garam Madura tetap saja asin, seasin garamnya Inggris. Meski kadar dan fiskositisas keasinannya berbeda-beda, garam tersebut tetap saja seasin uyah grosok pakan sapinya orang Gunung Kidul.

Bisa saja suatu ketika lombok itu berasa manis semanis gula aren. Garam juga boleh saja kelak jadi pedas se-kemepyor cabai rawit tujuh lusin. Bagaimana? Diakali dengan hukum keterbalikan budaya saja! Budaya itu kan melibatkan kompromi-kompromi, kesepakatan-kesepakatan, deal kelas tinggi. Singkatnya, terpaksa harus ada pihak yang menang, unggul, berkuasa dan juga pihak yang kalah, mengalah, terjajah, teraniaya. Pihak yang kalah harus mengakui kebenaran mutlak “pengakalan” budaya yang menjungkirbalikkan itu. Pihak yang jawara amat diperkenankan berbuat sewenang-wenang atas ide briliannya mengubah lombok itu tak harus pedas, garam tak lagi asin.

Cuma, caranya njelehi. Terdapat mekanisme untung-rugi dalam mencapai proses kesepakatan itu. Misalnya, sekarang lombok kita mufakati sebutannya sebagai asam. Garam kita alihnamakan sebagai gula. Konsekuensi logis barunya adalah bahwa lombok jadi asam-kecut, sedangkan garam berubah manis

Mengapa penulis sengaja menyodorkan pada awal tahun baru (Islam dan Masehi) ini tema lombok dan garam? Bukan karena famili penulis ada yang jadi jujugan garam atau lombok. Salah besar juga dong kalau dikira penulis punya rasa sentimentil (trauma sejarah) untuk memburuk-burukkan lombok atau membaik-baikkan garam —atau sebaliknya. Pertempuran militer Israel dan milisi Hamas (Palestina) —yang sedikitnya menelan 800an nyawa warga sipil di dua belah pihak hingga tulisan ini diketik; adalah memperjuangkan apakah lombok itu perlu dimanis-maniskan, diasin-asinkan, dikecut-kecutkan.

Awal Januari lalu kala konflik Jewish kontra Palestine sedang panas-panasnya, di sebuah koran nasional terbitan ibukota, penulis sempat menuliskan tentang perlunya solusi damai —tepatnya, juru damai yang bisa menjembatani kepentingan darah Yahudinya bangsa Israel dan klan Muslimnya suku bangsa Palestina. Tidak penting apakah juru damai itu person sekaliber Musa-Harun atau institusi internasional sekelas PBB. Toh, PPB memble, liga-liga bangsa Arab over penakut, OKI mandul, petinggi Amerika Serikat jadi pendiam —meski diam-diam ber-casciscus di belakang layar.

Dogma hidup di benak Zionis yang menganggap 1 nyawa Yahudi setara 1000 jiwa orang Muslim bisa jadi mengkatarsiskan posisi psikologis dan daya gedor mentalitas juang para Yahudi. Amatlah logis bila gertak sambal yang dilontarkan seluruh bangsa di dunia mengutuki kearogansian militer Israel tak mempan untuk menghentikan ekspansi negeri Zionis terhadap Tanah Palestina.

Yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kondisi bahwa Israel —yang orangnya memang dikaruniai otak encer-encer, berwajah ganteng, yang perempuan cantik dan jiwa petualang (ekspatriat)— ingin menawar bahwa lombok itu tak harus pedas dan garam itu tak lagi asin. Takutnya, kita secara diam-diam tak terasa mengiyakan kalau lombok itu bukan lombok, tetapi garam dan garam sendiri itu kita anggap bukan garam, melainkan gula.

Lantaran itu, apakah kita sudah tahu benar siapa musuh, siapa kawan, siapa provokator, siapa oportunis dalam konflik Israel vs Palestina. Mana lombok yang benar-benar berasa pedas, ada di mana garam orisinal yang bertekstur asin, dan mana asam, mana gulali-nya. Akibat kebanalan dan kealpaan, kita tidak pandai memfetakomplikan secara holistik permasalahan-permasalahan kompleks nan sophisticated itu. Inilah yang melatarbelakangi perang beratus-ratus tahun yang menceraiberaikan trahnya Nabi Ibrahim via permusuhan “abadi” anak-anak turunnya Nabi Ishak dan Baginda Ismail itu.

Kini muncul fenomena sosiokultural dimana banyak orang —entah dia pejabat, dosen, ulama atau yang diulama-ulamakan, poli”tikus”— yang tak segera becus memahami apa itu lombok? Ya sudah, dimaklumi dong kalau lombok itu tak harus pedas, garam tak lagi asin, asam pun bukan kecut lagi. Lombok itu garam, garam itu asam, asam itu gula, gula itu brotowali, brotowali itu lombok, lombok itu…terus muter tak ketulungan. Laakuwwataillaabillaah! (*)

*) Supadiyanto,

Kolumnis berbagai media cetak nasional dan lokal (email: padiyanto@yahoo.com; mobile: 08179947204)

Edisi 10

Manakah Pendawa, Yang Mana Kurawa?

Oleh Supadiyanto

Dalam jagat pewayangan (ringgit wacucal), pertarungan antara tokoh-tokoh yang tergabung dalam institusi bernama Pendawa kontra Kurawa menjadi epos klasik yang memberikan multihikmah bagi para generasi bangsa. Dari cerita-cerita heroik hingga pengkhianatan, nasionalisme sampai perselingkuhan, dan dunia kejahatan serta kebaikan terpacak manis dalam lakon-lakon yang diperankan oleh masing-masing tokoh, seperti Janaka, Yudistira, Werkudara, Nakula, Sadewa, Duryudana, Dursasana, Durma, Sengkuni, dll.

Di masa kini, khususnya dalam dunia politik, ternyata cerita Pendawa-Kurawa menghikmahi banyak peristiwa yang terjadi di negeri ini. Mereka yang kini tengah berperan sebagai tokoh-tokoh Pendawa maupun yang sedang melakonkan tokoh-tokoh Kurawa bisa disepadankan dengan dunia pewayangan.

Pesta demokrasi Pemilu Legislatif baru saja rampung 9 April 2009, delapan hari lalu. Kita sudah tahu Caleg yang kandas dan yang sukses duduk di kursi dewan. Kita mafhum juga Parpol-parpol tertentu yang meraup suara gemuk, kurus, hingga kelas gurem. Sejurus dengan itu, kita bisa dengan mudah mencermati di antara para politikus mereka yang berjiwa Pendawa dan mereka yang berperangai Kurawa. Pencitraan Pendawa sebagai pahlawan dan Kurawa sebagai oportunis jelaslah melukiskan kejembaran makna dalam tatanan nilai dan dialektika sosial di jagat raya ini. Jujur saja, pada saat ini mayoritas penduduk sedang mengalami kebingungan untuk memutuskan keputusan yang bijak dan benar, benar sekaligus bijaksana. Mengapa bisa demikian?

Dalam hati kita masing-masing tengah berkecamuk pertentangan batin: niat buruk, tetapi terkamuflasekan oleh propaganda yang dibikin-bikin; cenderung menjadi orang munafik (maksudnya tak mau mengakui dirinya bersalah, tapi mau menang sendiri); suka memprovokasi, sehingga orang lain terpancing untuk bertengkar, berkonflik. Dalam hati kita sudah terselimuti hawa nafsu angkara, ingin menguasai segalanya, egoistis sentris, sok alim, sok pintar (keminter), adigang, adigung, adiguna, dan berperilaku buruk lain.

Para politisi di negeri ini yang tengah bersiap menduduki jabatan-jabatan empuk —mulai dari kursi DPR/D, DPD, MPR, Menteri, hingga Presiden dan Wakil Presiden— kebanyakan terperosok dalam jurang ketokohan para Kurawa yang termonopoli oleh sikap kerakusan, tamak, barbar, narsisis, arogan. Bahasa-bahasa propaganda yang menyesatkan, iklan-iklan politik yang ambigus, retorika-retorika bahasa panggung politik yang membohongi hendaklah segera dihilangkan dari kamus politik Indonesia.

Menyimak catatan sejarah, sejatinya antara cerita Pendawa dan ketokohan Muhammad serta Khulafaurrasyidin itu sama, alias identik. Dalam sejarah Islam, tokoh seperti Umar bin Khattab, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan Baginda Rasulullah Muhammad adalah tokoh yang ingin digambarkan pada diri para tokoh Pendawa. Umar bin Khattab yang ksatria, tegas, disiplin laksana seorang tentara dinisbatkan sebagai Bima. Lantas, Abu Bakar yang moderat, diplomatis, bijaksana disepadankan dengan tokoh Arjuna. Usman bin Affan yang dermawan, hartawan, pengusaha, jujur dianalogikan sebagai Nakula. Ali bin Abu Thalib yang intelektual, cendekiawan, filsuf dipatronkan sebagai Janaka. Terakhir, Kanjeng Nabi Muhammad yang menyandang sifat-sifat intelektualis, jujur, bijaksana, pebisnis, negarawan dilukiskan sebagai Yudistira. Jagat pewayangan yang merupakan warisan adiluhung nenek moyang bangsa ini bisa kita pakai sebagai kaca benggala siapakah tokoh yang sedang kita perankan?

Berbahagialah kita seandainya memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki para Pendawa. Jangan sampai kita berperan atau terjebak menjadi tokoh Kurawa, baik sadar atau tidak. Seandainya pun kita sekarang masih bersifat seperti para Kurawa, tak ada kata terlambat untuk segera bertobat mengubah perilaku-perilaku buruk kita. Yang ditakutkan justru saat ini ketika banyak politikus lokal maupun nasional semakin gencar mempropagandakan slogan-slogan sakti mereka masing-masing. Bendera-bendera Parpol —yang jumlahnya pastilah lebih banyak dari jumlah bendera merah putih— meski telah banyak diturunkan, akan segera berkibar-kibar mengangkasa di segala penjuru Tanah Air.

Satu sisi, kita patut bergembira ria juga menyaksikan betapa demokratis dan bebasnya prosesi kampanye lima tahunan itu. Hanya saja, pada aspek lain, ada semacam kelimbungan dan kebingungan yang tengah dialami banyak di antara pemilih (pemula, madya maupun senior) untuk menentukan pilihan suara mereka dalam hajatan Pemilu Legislatif yang digelar pada tanggal 9 April 2009 kemarin, dan Pilpres 2009 mendatang.

Mungkin di dalam hati kita sedang kebingungan sendiri dalam memilih, memilah, dan menentukan mana tokoh Pendawa dan mana tokoh Kurawa itu? Mana tokoh-tokoh politikus yang berjiwa kapas dan mana pula yang berwajah hitam? Pertanyaan itu bisa sama sekali tak mudah terjawab karena kalau ternyata para politikus kita tak ada yang berjiwa Pendawa, melainkan terjerumus menjadi Kurawa semuanya, akan bingunglah kita. Kalau pun mereka adalah para Kurawa yang memoles wajah dan tampilan muka mereka dengan make up Pendawa, semakin tambah bingung lagi kita.

Duh Gusti Allah, pinjamkanlah barang sebentar saja mripat waskita-Mu kepada hamba-hamba-Mu ini dalam menyukseskan Pilpres 2009 yang sebentar lagi akan digelar. Semoga mereka dibekali mripat kewaskitaan yang mampu merabai, menembus mata hati apa-apa yang sebenarnya masih tersembunyi dalam benak para polikus di negeri ini. Yang manakah Capres Pendawa, mana pula yang Capres Kurawa itu? Blingsatan kita.

*) EspedE Ainun Nadjib; Kolumnis, mantan Redaktur Harian Rakyat Merdeka&Jawa Pos Radar Solo (padiyanto@yahoo.com//08179447204)

Edisi 9.

Mantra Paseduluran Dunia-Akhirat

Oleh Supadiyanto

Sedulur papat, limo pancer. Paseduluran alias persaudaraan itu minimal ada empat model. Pertama, persaudaraan model klasik nan baku karena terikat oleh hubungan darah, trah, atau klan (genekologis). Tipologi perkoncoan kedua, karena terikat oleh rasa kebersamaan nasib; sama-sama jadi orang menderita, atau bareng-bareng jadi orang berkecukupan. Perkronian antarmanusia ketiga adalah persaudaraan karena kesamaan ideologi, satu cita-cita, visi-misi yang identik atau diidentik-identikkan —kendati tak punya hubungan kekerabatan. Namun, hanya pasedeluran (keempat) yang terikat oleh rasa kemanusiaan, berdasar rasa kasih sayang yang sejatinya mampu mengentalkan ikatan batin antara satu orang dengan lainnya; tanpa peduli punya atau tidaknya hubungan darah dengan kita, atheis atau theis (kalau theis, seagama atau tidak)

Asalkan ia masih memiliki dasar cinta kasih dalam pantulan jiwanya, pantaslah kita jadikan ia sebagai saudara sejati. Tak penting lagi berbagai aksen, simbol, dan emblem jasadiah lainnya; apakah ikhwan A itu ganteng apa jelek, garis parpol dan ideologinya (merah hijau, kuning, atau mungkin abu-abu). Semua itu tidak akan menjadi hambatan dalam prinsip perkongsian, perkoncoan, persaudaraan, dan paseduluran yang menyejati (asal kata dari pohon jati).

Sebaliknya, kalau masih ada orang, kelompok, makhluk, institusi resmi (LSM, birokrat, parpol) yang terus membedakan kadar persaudaraan antarmanusia, maka belum pantas ia disebut menjalani proses persaudaraan dunia-akhirat. Sikap kita kepada sesama Muslim hidup rukun, saling tolong-menolong, berhubungan layaknya satu keluarga adalah suatu korelasi sosial yang sudah biasa —dan memang harus begitu. Hal itu akan jadi perkara luar biasa andaikan di antara orang yang berbeda maqam ideologi, tekstur agama, aroma ras, dan lambang keprimordialistisan mampu menciptakan dialektik kemesraan psikososial; hidup rukun yang tidak dibuat-buat, saling tolong-menolong tanpa sikap keterpaksaan dan rekayasa, mampu berhubungan layaknya satu keluarga tanpa tendensi kalkulasi untung-rugi.

Gara-gara rebutan seorang perempuan cantik saja, bergolak segera pertikaian antara satu bangsa dengan bangsa lain. Gara-gara harta gono-gini; kita bisa dengan mudah saling bunuh atau dibunuh. Sebab perkara sepele saja, carok bisa terjadi di mana-mana dan kapan saja, dulu dan juga sekarang. Gara-gara jabatan mentereng, semua orang rela memenggal leher saudara kembarnya sendiri, apalagi sekedar menggorok urat nadi orang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. Dalam teori psikologi kriminalitas kontemporer, orang yang berani memutilasi tubuh orang yang telah dikenalnya menjadi sepuluh, dua, tiga puluh bagian potong tubuh jelas jauh lebih kejam karat ke-"Ken Arok"-annya daripada perangai seorang maling yang menggarong seluruh bondo donyo serta menghabisi nyawa sang empu rumah orang yang sama sekali tak dikenalnya.

Paseduluran yang hanya berorientasi kehidupan dunia hanya mubazir dan segera terputus keabadian resonansinya kala kedua pihak telah sekarat. Paseduluran yang sekedar berperspektif kekinian, kefanaan, dan duniawi lekas sirna dan tak bernilai ganda kadar maupun intensitas kerekatan psikososiohumanisme-annya. Ditinjau dari segi bisnis, paseduluran yang mengandalkan pada hitung-hitungan untung-rugi, memang menguntungkan, tetapi sejatinya ia segera berubah menjadi pemicu cespleng bagi pergeseran tata nilai dan sendi-sendi norma-norma kerohanian. Dari bidik kalkulator tata niaga saja, persaudaraan yang tentu sarat dengan kamuflase, lipstik picis, aksesoris kata-kata romantis, dan bumbu-bumbu advertising akan kian memojokkan makna sejati paseduluran dunia-akhirat. Lantas bagaimanakah sejatinya mantra paseduluran dunia-akhirat itu?

"Ia adalah paseduluran yang dilandasi dasar rasa kasih-sayang, tata kelola nilai-nilai kemanusiaan, pedoman-pedoman akhlakul karimah, percikan cahaya kebenaran yang memantul dari jiwa dan hati nurani. Ia adalah model persaudaraan yang tak hedonistis, tak menanyakan apakah engkau kaya atau miskin, jauh atau dekat, cakep atau setengah cakep atau buruk sekalian, tak perlu menegasikan apakah person itu dulu garong atau Gus, apakah mereka kelompok berdarah biru atau sudra, berprofesi sebagai tukang ojek atau direktur PT Bos, seorang pengemis atau tukang palak. Ia adalah emosi batin persaudaraan yang muncul dari dalam lubuk jiwa terdalam, bukan atas cinta sepandangan mata; bukan pula atas tampilan fisik atau polesan propaganda iklan teve, radio, koran, dan internet. Ia juga adalah jenis paseduluran layaknya air dengan unsur oksigen dan hidrogen-hidrogennya; kekerabatan antara langit yang tak berbatas dengan langit-langit rumah di bumi yang amat berbatas. Ia juga merupakan kumparan elok sebagaimana pelangi-pelangi di cakrawala sana yang tersusun indah tanpa ada kompromi dan intrik deal politik sebelumnya. Ia laksana kebersatuan darah-tulang-daging-otot-usus serta udara-udara yang bergejolak di dalamnya. Ending-nya, ia adalah model paseduluran yang diliputi dengan mantra-mantra sakti sehidup-semati demi memperjuangkan satu kata sepakat: cinta yang tak habis tergali kendati ia ikhlas harus 'terbakar habis' oleh kemahadahsyatan Dzat-Nya".

Patut direnungkan bahwa segala yang dibisikkan oleh hati nurani adalah kebenaran, bukan kebetulan atau kebenaran tersamarkan, sedangkan segala yang terpancar dari ide, pikiran, dan sinyal-sinyal software otak perlu diendapkan terlebih dahulu karena otak adalah tempat pertempuran antara kebaikan dan keburukan. Artinya, produk dari pikiran pastilah hanya ada empat jenis: satu, produk pikiran buruk; dua, ia mungkin bisa menjadi hasil pikiran baik; tiga, produk netral, artinya tidak baik, buruk juga tidak; paling pamungkas, adalah pikiran, ide, gagasan yang bisa bernilai setengah kebenaran, seperempat keburukan plus seperempat nilai yang tak teridedentifikasi (apakah ia berapot keburukan atau kebaikan). Teramat logislah kala setiap orang akan melakukan hal-hal yang tak benar, menyalahi fitrah batin, maka terjadi pergolakan antara batin-jiwa (hati nurani) dengan pikiran yang berpangkal pada otak.

Inklusivitas sekaligus eksklusivitas Jamaah Maiyah (Padang Mbulan, Bangbang Wetan, Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta…) hanyalah salah satu model, pola relasi, dan prototipe paseduluran “dunia-akhirat” yang tak saja memikirkan kemaslahatan personal, kebermanfaatan grup masyarakat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, internasional; tetapi juga sekaligus merangkulkan keseluruhan hubungan zigzag, linier, elementer, frontal, horisontal, vertikal, putus-sambung atas semua unsur elemen ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta keamanan.

Kalimat kuncinya, penyebaran virus-virus paseduluran dunia-akhirat ini harus digelorakan secara kontinyu, tanpa kenal lelah, dengan mendasarkan sikap saling hormat-menghormati, asas demokrasi yang mencerdaskan, prasangka kemalaikatan, jangan berprasangka kesetanan; sembari semua memposisikan diri sebagai makmum sekaligus selalu siap sedia berposisi sebagai khalifah minimal atas diri mereka sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya.

Prinsip pokok paseduluran sejati dunia-akhirat hanya dikenal oleh manusia saja yang berperadaban, sadar kemaslahan bersama, dan hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan terus berpijak tanpa henti pada petunjuk-petunjuk Tuhan melalui risalah para rasul, nubuwwah para nabi dan karamah kekasih-kekasih-Nya. Titik. (*)

spedE Ainun Nadjib, Kolumnis berbagai media cetak nasional dan lokal

(email:padiyanto@yahoo.com; mobile: 08179447204)

Edisi 8.

Pundhi Brambang, Mana Bambang, Where's Blumbang

Oleh Supadiyanto

Di depan saya sekarang ada bumbu pawon sekelas brambang. Hem...lumayan berbau sengak memang, tapi tetap enak kok untuk menguleki sambal kacang. Sedang di belakang saya saat ini juga ada blumbang, beraroma khas memang, tetapi nyamleng kok untuk sekedar menuntaskan hajat kita. Eeh belok kanan atau kiri sedikit saja; saya kok bisa bersua dengan Saudara Bambang. Orangnya ciamik emang, tapi....(rahasia dong?).

Mungkin juga kalau saya pinjam barang satu, dua detik aji-aji terbang melayang kayak Gatot Kaca atau Batman, bisa sih ketemu bawang, rekan seperkongsianladanya brambang. Nah kalau ke bawah sesenti saja, siapa yang menyangka nanti saya bisa diperjamui dengan bintang-bintang. Bintang tujuh, bintang Merkuri, bintang laut, bintang film, pulau Bintan(g), bintang porno, bintang Pildacil, bintang lapangan; pokoknya asal bukan bin dan tang. Ada tiga kata kunci, satu brambang, dua Bambang dan tiga blumbang.

Ojo keliru dulu sampeyan, ini tulisan bukan untuk membikin guyonan ala Srimulatan yang bisa bikin perut keroncongan, dangdut-an mentoknya pop-an. Dari kejauhan sono, weladhalah...tanpa babibu ada rekan saya yang langsung nyelonong menohok saya. Sampeyan itu mau bikin ramuan sakti ala Madura apa; lha kok judulnya dikasih unen-unen yang nyentrik begitu; tanya dia penuh selidik ala agen intel magangan. Lho tidak to Rek, celoteh saya, sampeyan niku memangnya mata-mata CIA apa, KGB, po Mossad, BIN po piye?

Lega hati ini melihat begitu banyak Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI yang dijago-babonkan untuk menduduki RI-1 dan RI-2. Lihat itu ada empat senopati yang trengginas, benar. Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso dan tentu Susilo Bambang Yudhoyono. Tinggal mau diilmuhikmahi bagaimana,empat-empatnya berwajah ganteng, sugih mbrewu, moncer intelektualitasnya, militeris, ngedap-edapi strategi propaganda,jaringan sosial mirip-mirip sarang laba-laba serba terkoneksi dari ujung luar negeri sampai pucuk dalam negeri. Wah pokoknya tak bisa dicari bandingannya. Bombong sekaligus mongkok juga perasaan ini, begitu Sri Sultan HB X tak kalah taktis langsung memasang diri menjadi Capres. BUkankah darah yang mengalir dalam diri Kanjeng Sinuwun Herjuno Darpito itu mengalir darah ningrat, raja-raja Mataram yang bersumber dari Sri Sultan HB IX yang tak lain foundhing father bangsa ini. Amati lagi lebih mendetil, bagaimana Sultan menitisi trah raja-raja Jawa, mulai dari raja-raja kerajaan Mataraman-Majapahitan-Singosarian sampai kahuripan. Tak kalah bangga pula saya menganalisis bertenggernya sang Srikandi, Megawati Soekarno Putri, anak kandung sang Proklamator Presiden Soekarno. Rasanya tak ada yang diragukan lagi dari kapasitasnya sebagai seorang Presiden(wati) RI. Beliau pernah menduduki Istana Negara, memiliki kearifan sosial yang keibuan, intelektualitas tak disanksikan lagi lha wong jutaan penduduk mengikrarkan diri rela sehidup semati dengan beliau dan mendudukkannya dalam puncak kekuasaan partai gemuk, banteng bermoncong putih bersih.

Wah happy juga sepasang mata minus ini melihat ada Yusril Ihza Mahendra, Jusuf Kalla, Soetrisno Bachir, Rizam Ramli juga siap memegang tampuk kekuasaan tertinggi di negeri berpenghuni 230 juta jiwa ini. Berbicara soal kadar kenegarawanan para Capres dan Cawapres yang disebut tadi, siapa yang berani melawan ketangguhan mereka. Ilmu demokrasi dari negerinya Barack Obama sudah mereka khatami, sampai-sampai tak ada teori demokrasi yang tersisa dari sana. Klenik-klenik budaya dari Jerman, Timur Tengah juga sudah terwisudai dalam benak-benak para calon pemimpin-pemimpin itu.

Apalagi teori Jawa, kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga dogma-dogma seputar kenabian entah dalam agama Yahudi, Nasrani maupun Muslim, komunis, Konghuchu, Darmogandul...; pasti sudah di luar benak mereka. Jangan dikira dulu itu Gus Dur, ini Amien Rais dan sang arsitek pesawat N-250 BJ. Habibie sudah lempar handuk dalam kompetisi perebutan RI-1 dan RI-2. Bisa-bisa mereka bertiga sedangpasang kuda-kuda, kalau-kalau "para muridnya" tak becus menjadi "Bambang dan Bambung". GUs Dur meski sudah bukan Ketua Umum PKB lagi, nanti tiba-tiba di-Capreskan "poros pesisir Laut Selatan" dan menohok "poros-porosan"; jangan kaget Anda. Bang Amien Rais meskipun sudah "sepuh", hulu ledak propagandanya masih mingis-mingis sekaliber "Tan Malaka" yang nggegirisi. Diam-diam BJ Habibie kalau menyiapkan "batalionan" elit-elit politik yang kini menyaru dalam 44 Parpol yang turut dalam Pemilu kali ini; jangan pula Anda kebakaran jenggot. Dalam politik tak ada yang mustahil, memang. Hal-hal yang serba musykil jadi mungkin, dan perkara-perkara yang mungkin bisa jadi amat mustahil bin impossible. Penggila bola mengatakan, bola itu bundar. Penggila orang gila mengungkapkan orang gila itu pasti mengakui ia tidak gila. Penggila sate menyela, sate itu bukan seta, apalagi etas. Tetapi yang pasti, penggila politik menyatakan, politik itu gila.

Pun saya benar-benar bungah melimpah ruah kala memeloti tampilnya jutaan Caleg DPR/D, Caleg DPD RI yang siap sedia menjadi wakil-wakil rakyat yang bakal bergaji minimal 13-100 juta rupiah perbulan. Weh-weh...ngiler saya, gaji saya berapa? Gajinya tukang ojek itu berapa ratus kali lipat lebih kecil dari gaji wakil rakyat itu? Betapa kampiunnya kehidupan negeri ini. Setiap lima tahun sekali berpesta-pesta pora merayakan Pemilu Legislatif dan Pilpres. Belum lagi ditambah dengan perayaan Pilkadabup, Pilkadagub, Pilkades dan kalau perlu wajib pula diadakan Pilkadacam, Pilkadart-rw. Melongok dari segi kaderisasi kepemimpinan di negeri ini; jelas no problems dengan Indonesia. Tak ada persoalan dengan masalah demokrasi, demokratos; kata yang dicerabut dari negeri sebarang sana. Pakdhe "demos" dan Mbokdhe "kratos" tampaknya sudah amat men-Jawa, meng-Indonesia sekali.

Buktinya, sekarang ada upaya-upaya serius untuk mem-Presiden-kan raja dan merajakan presiden. Artinya, kita kini sedang berkeinginan untuk memiliki sosok raja yang presiden dan presiden yang raja. Bukan raja yang gubernur atau gubernur yang raja. Sebab nanti kalau kultur monarkhis-demokratis itu tak dipenggal haluannya, lama-lama bisa mungkret ada raja yang jadi Bupati/walikota, bahkan raja yang Camat atau Kades. Jelas-jelas kita sudah menjadi negara yang paling demokrastis di Indonesia. Belum pernah ada kudeta-kudetaan dalam sejarah pergantian kepemimpinan nasional di negeri ini. Justru antara calon pemimpin pandai kritik-mengkritik, bukan dengan baku hamtam, adu jotos seperti di negeri-negeri yang tingkat peradaban manusianya rendah. Kita boleh berbangga diri menjadi bangsa Indonesia karena dalam diri kita masing-masing (ya darah, entah tulang belulang, pun usus) mengalir darah kakek-nenek moyang kita seperti Hayam Wuruk, Gadjah Mada, Ken Arok, Ki Ageng Pemanahan, Sultan Agung Hanyokrokusumo dan semuanya berpangkal pada gen Muhammad-Isa-Ismail-Ibrahim-Nuh-Adam. Dus kalau ternyata dalam darah kita masing-masing menitis roh-roh orang-orang sebesar dan semulia di atas; bukankah masalah mentalitas, setting psikologis kepemimpinan dan persoalan keunggulan gen; kitalah yang nomor wachid sejagat raya ini.

Toh tak ada persoalan lagi, kita pandai sekali merekayasa suasana batin, membolak-balikkan ironisitas psikologis, meng-up grade kacanggihan intelektualitas kita; maka pantaslah bila kemudian dalam hajatan demokrasi tahun ini; begitu membludak stok calon-calon pemimpin nasional. Yah, tak ada masalah barang sedikitpun dengan bangsa ini. Entah ada banjir meradang, gempa mengkoyak-koyak, luapan lumpur abadi, tsunami tertsunami atau bentuk musibah alam bagaimanapun; kita tetap pandai memain-mainkan perasaan kita. Begitu Sungai Bengawan Solo meluap, meski ribuan rumah kebanjiran; toh lihat itu banyak orang cengar-cengir ketika terekam kamera teve; tetap cascus kepulan rokoknya kendati utang menumpuk; selalu gemar berbelanja di mal, walaupun kantong mulai menipis. Ada pula mereka yang berani tetap kredit sepeda motor atau mobil meskipun gaji cukup setengah juta rupiah perbulan.

Hebat betul, benar-benar tangguh mentalitas kenekadan penduduk bangsa ini; tak ada penduduk bangsa lain yang membakati ketangguhan mentalitas Nabi Nuh mengarungi badai tsunami berbulan-bulan; tiada pula sosok-sosok orang yang mewarisi kepandaian berdiplomasi Nabi Harun-Musa kecuali bangsa Nusantara ini. Orang-orang Java, yang memiliki ilmu jiwa Jawa yang berhati wening, bening; itu penting. Tak bisa tidak kita tidak bisa membicarakan pergantian pucuk kepemimpinan negeri ini, tanpa menyangkutpautkan dengan awu-nya orang Jawa. Meski rentang usia manusia-manusia Indonesia, orang Nusantara, wong Jawa itu hanya rata-rata berusia 70 tahun; namun senyatanya dalam cetak biru otak dan mentalitas mereka itu telah memiliki darah daging orang berusia ratusan tahun, 500 tahun, 700 tahun atau bahkan setara Baginda Nuh yang bisa berusia 900 tahun. Kembali berbicara soal kepemimpinan nasional di Indonesia, tak ada yang tak beres, bukan? Semuanya serbayes, beres..res...res..Nihil cacat. Karena siapapun yang memimpin negeri ini, ia adalah anak turun orang-orang sakti siapapun yang pernah mengerami bumi Nusantara menjadi negeri sehebat sekarang. Meski ada sih koruptor di sana-sini, toh itu sebagai "bentuk protes" atas ketakberesan sistem hukum yang berlaku. Wajarlah kiranya, sebab ketika zaman Baginda Rasullullah Muhammad saja masih ada banyak juga pejabat yang juga bermental koruptor, apalagi sekarang. Mencermati menjamurnya kemunculan para calon pemimpin nasional itu; jangan-jangan pula dalam hati kecil kita masing-masing juga terbersit keinginan untuk menjadi Capres, yo minimal Cawapres-lah.

Nah kalau begitu, mbok saya usul, agar semua bisa terakomodir bikin saja RI-1,5, RI-2,5, RI-3,6, RI-0,5 dan seterusnya. Kalau perlu itu Bantul jadi negara Bantul, biar Bupati dan Wakil Bupatinya langsung jadi Presiden-Wakil Presiden Bantul. Magelang nanti beribukota negara Muntilan, sehingga kalau orang-orang Sleman nyebrang ke Kota Magelang bisa bilang pergi keluar negeri dan harus mengurus visa. Warga luar negeri di Palu sana, biar suka melancong ke kawasan internasional negeranya Bandung atau Aceh. Tetapi kan ini hanya guyon saja, biar otak tak cepat spaneng, stres, stroke terus titik koma,lantas titik (mati).

Biar nanti tak ada lagi kompetisi Pilpres dan Pemilu Legislatif butuh biaya semahal saat ini. Bayangkan saja, separuh pendapatan negara selama satu periode (lima tahun) pemerintahan sepenuhnya hanya dihabis-habiskan untuk membiayai pesta-pesta pora demokrasi itu. Terlalu absurd memang, tetapi tetap dilogis-logiskan oleh para intelektual hanya demi dan demi memperoleh kedudukan, jabatan yang mentereng.

Lagi-lagi, sekonyong-konyong rekan saya tadi menohok saya dengan kritikan pedas, mengapa selalu saya tidak mengkritisi para Capres-Cawapres itu? Seloroh saya dalam hati, buat apa mencari borok, mengkritik mereka; kan merusak pasaran para “tim sukses” Capres-Cawapres dan Caleg itu. Soal saya sudah berikhlas diri memilih jadi “tim gagal” jauh-jauh hari sebelum SBY-JK jadi presiden hingga mau “berkelahi' lagi untuk merebutkan “dua kerat tulang” bernama RI-1 dan RI-2 itu.

"Kalau orang sudah super kaya,jadi konglomerat yang perutnya bundar sebundar bola basket ('he..he..wah sudah berapa bulan mengandungnya Pak', katanya Pak Harwanto Dahlan; bukan Dahlan Iskan atau Ahmad Dahlan lho?); kalau tak ingin menambah deret istri (sah maupun tidak sah, semi sah) dan menduduki jabatan pemerintahan yang mentereng; mau apalagi?". Tapi itu cuma celetukan rekan saya tadi yang kebetulan gemar memakan brambang, suka berak di blumbang dan ndemen banget adu jotos dengan saudaranya Bambang. Entah benar apa tidak; terserahlah! (*)

Gedung MPR-DPD RI, 09 Februari 2009

*) Supadiyanto, bukan Capres; sekedar Kolumnis (ganteng) (email: padiyanto@yahoo.com; mobile: 08179447204)

Edisi 7.

Kurban, Haji, dan Ruh Optimis Jelang Tahun 2009

Oleh Supadiyanto

Perayaan Hari Raya Idul ”Kurban” Adha dan ibadah haji dalam satu rangkaian secara reflektif memiliki dimensi teologis sekaligus psikososiokultural bagi kemaslahan manusia. Tahun ini saja, pemerintah di negeri berpenghuni 224 juta jiwa ini memberangkatkan 210 ribu haji ke Baitullah. Pertanyaan mahapentingnya yakni, mungkinkah ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha itu bisa menjadi pematik ”ruh” optimisme bangsa ini dalam menatap masa depan menghadapi ”Indonesia 2009”?

Di penghujung tahun ini, ratusan ribu, bahkan jutaan shahibul qurban (orang yang berkurban) menyembelih dan mendistribusikan daging hewan kurban. Artinya, terjadi dialog kesadaran dalam berteologi (hubungan Tuhan dan manusia) dan dialog kesadaran batin dalam berdialektika sosial (hubungan antarmanusia).

Secara kebetulan pula, bertepatan dengan perayaan ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha di penghujung tahun ini, bangsa ini sedang tertimpa beragam bencana alam dan sosial di sejumlah daerah. Kawasan Jakarta, Brebes, Medan, Semarang, Pati, Purworejo, dan kota lainnya sedang dihantui bencana banjir. Gorontalo dan Kabupaten Buol Sulawesi Tengah digunag gempa 7,7 SR yang menewaskan sejumlah orang dan merusakkan berbagai infrastruktur di sana. Belum lagi, sebagian warga Sidoarjo masih dilanda banjir lumpur panas akibat jebolnya tanggul-tanggul penahan luapan lumpur panas Lapindo. Bahkan, bencana sosial —kemiskinan, pengangguran, tindak kriminalitas— malah makin meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.

Logislah kalau umat Muslim pantas merasa prihatin atas berbagai bencana alam dan sosial di atas, sehingga perayaan Hari Raya Idul Adha dan Lebaran Haji tahun ini dijadikan momentum bersama dalam berlomba-lomba berbuat kebajikan dan mengintensifkan aksi solidaritas sosial. Menurut kalkulasi statistik, jumlah keluarga miskin di negeri ini puluhan juta jiwa jumlahnya. Dari segi geografis, sebagian besar keluarga miskin tinggal di rumah-rumah kardus sekitar bantaran sungai atau himpitan perkampungan kota. Sebagian lain tersebar di pelosok desa, pegunungan, dan pesisir pantai. Dari akses pendidikan dan kesejahteraan sosial, mereka berpendidikan rendah, tak memiliki akses langsung atas sumber informasi atau birokrasi.

Merujuk fakta sosial itu, sejatinya, dimensi sosiokultural yang terpantik di balik perayaan Hari Raya Idul Adha diharapkan kuasa membangkitkan rasa optimisme bangsa ini dalam menatap masa depan atau melecutkan kembali pemaknaan komprehensif akan ibadah Idul Adha. Para shahibul qurban —yang mayoritas berbasis finanasial kuat— dengan ikhlas mendermakan sebagian kekayaannya untuk dibagi-bagikan kepada pihak yang minus secara keuangan. Setali tiga uang dengan itu, ratusan ribu jamaah haji —yang juga banyak di antaranya kaya— wajib menyantuni fakir-miskin sepulang dari Mekkah, nantinya.

Jangan malah para shahibul qurban serta para haji itu melaksanakan ibadahnya semata-mata ingin menunjukkan ”kesalehan relijiusnya” di depan publik agar mendapat pujian masyarakat atau menaikkan gengsi sosial. Bisa jadi momentum Hari Raya Idul Adha dan Lebaran Haji ini dimanfaatkan oleh sekelompok oportunis —dalam hal ini para ”politikus”— untuk ”mencari muka” agar sukses dalam hajatan Pemilu Legislatif dan Pemilu Pilpres 2009, mendatang.

Jika perkara tadi benar-benar benar, alangkah naasnya masa depan bangsa ini. Kenyataannya, memang banyak Caleg serta Capres-Cawapres yang melakukan ibadah haji sekaligus menjadi shahibul qurban. Tentu saja, kita tak bisa menjustifikasi setiap Caleg, Capres-Cawapres yang kini sedang khusuk menunaikan dua ibadah itu memiliki keikhlasan yang tulus. Kita tak pula bisa menilai seseorang yang berkurban itu melakukannya dengan niat menjalankan perintah Tuhan atau dengan pretensi politik di belakangnya. Semuanya tetap saja kembali pada kebersihan hati manusia dan tentu hanya Tuhan sajalah yang Maha Tahu.

Semoga perayaan Hari Raya Idul Adha dan ibadah haji tahun ini mampu membangkitkan ”ruh” optimisme kolektif, bukan sebaliknya. Klimaksnya, Tahun Baru 2009 besok bisa menjadi pintu gerbang terwujudnya masa depan Indonesia yang lebih menjanjikan. See you next year —insyaallah— with your neo spirit! (*)

*) Supadiyanto; Kolumnis (e-mail: padiyanto@yahoo.com//mobile: 0817947204)

Edisi 5

Menjajal Kesaktian Pendekar Maiyah

Oleh : Supadiyanto

 

Sepanjang penghujung tahun 2008 ini—bakal ada kejutan-kejutan sosial. Salah satunya, Barack Hussein Obama—yang berkulit arang itu—sukses besar jadi Mr President di negeri Paman Sam. Jangan kaget pula, bila lantas kemudian besok di Afrika Selatan akan di-Presideni oleh “Mandela” berkulit putih. Di Indonesia, bisa jadi nanti RI 1-nya bermata sipit?

Mungkin itu adalah salah satu fenomena budaya, terkait akan segera munculnya Pendekar Maiyah. Semakin tinggi “sabuk hitam” kependekaran, jabatan, pangkat, ilmu kewaskitaan serta kearifan hidup yang dimiliki seseorang —harusnya semakin membuat riuh rendah, hilang rasa egoistisnya. Pun ia wajib semakin pendek tampilan senjata fisiknya dan kian hilang penampakan aksesoris sosok yang dimaksud hingga tak membikin takut orang awam. Seorang polisi yang baru sekelas pemagang, masih berpangkat Brigadir, tentu masih gemar memegang senjata laras panjang. Seorang tentara pemula juga masih fanatik atas ketentaraannya dengan memegangi bayonet dan baret baloknya kemana saja.  Seorang prajurit kraton berpangkat rendah selalu pede memegangi tombak yang ukurannya bermeter-meter itu. Lain halnya dengan seorang raja. Kian tinggi kedudukannya, makin pendek; bahkan tak perlu lagi senjata macam tombak, laras panjang, bayonet. Karena apapun yang dipegangnya bisa berubah menjadi tombak, pedang, bom dan apa saja sesuai bisikan hati yang dimauinya. Alih-alih hembusan angin hidungnyapun bisa menjadi senjata pertahanan yang mampu membombardir seluruh musuh—yang hendak mencelakainya.

Pun begitu dengan kedalaman ilmu agama yang dikantongi seseorang, bukan malah memprakondisikan individu pada posisi "tuhan" yang sok merasa hebat, merasa paling benar sendiri, terpandai —hingga menjebak sang pemeluk untuk menyombongkan diri di depan ego pribadinya.

Lantas, siapakah yang terpantas dipredikati sebagai Pendekar Nusantara alias Dwipantara, Pendekar Jagat dan Pendekar Maiyah itu? Tak lain sosok yang kuasa mempendekari atas identitas kediriannya, sekaligus menaklukkan kuasa atas kependekaran di luar kediriannya. Dalam konteks masa kini, trilogi jenis pendekar itu dapat terlahir dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan—bukan lantas terpaut pada kedugdengan olah fisik —kanuragan— seperti era klasik dinasti Majapahitan, Mataraman atau Padjadjaranan.

Penulis memprediksi—haqqulyaqin, baru nol koma sekian persen penduduk negeri ini; pernah mencerap kata Maiyah, sehingga melahirkan terminologi Pendekar Maiyah di atas. Konsep mentah Maiyah pernah ditawarkan Emha "Cak Nun" Ainun Nadjib—plus minus tiga belas tahun silam. Maiyah itu terpacak dari bahasa Arab, Ma'iyya. Karena lidah Jawa yang tidak bisa ke Arab-Araban itu, malah lebih keBelanda-Belandaan jadinya; lantas terkonversi menjadi Maiyah. Memang ujaran Maiyah lebih pas, estetis, smooth di dengar telinga orang Jawa dibandingkan Ma'iyya. Maiyah artinya melingkar, berputar. Hukum atau ilmu lingkaran itu tak ada ujung dan pangkal. Semuanya hanya terfokus oleh satu titik pusat, tepat di tengah pusara lingkaran tersebut.

Pendekar Maiyah yaitu pendekar yang mampu mengkoordinir seluruh pendekar —yang tak lain kita semua— agar selalu tunduk dan taat atas asas hukum lingkaran itu. Pendekar Maiyah menjadi batal-gugur kadar kependekarannya bila dia tak kuasa lagi membawa pencerahan bagi lingkungan di luar dirinya.

Pendekar Maiyah semacam inilah yang dibutuhkan dunia guna mempendekari ke-Dajjal-an dan semua bentuk kepalsuan hidup di atas jagat ini. Presiden Indonesia tak bisa secara otomatis menjadi Pendekar Dwipantara-Nusantara itu sendirian. Presiden SBY (Susah Banget Ya…??), maka logis kalau Wakilnya bernama JK (Jangan Kaget…!!), tak boleh mengklaim diri menduduki jabatan Pendekar Nusantara. Apalagi pangkat spiritual, Pendekar Jagat. Sedangkan dirinya saat ini tengah terombang-ambingkan oleh pendekar-pendekar yang mengelilingi dirinya. Dia hanya dijadikan obyek sasaran para pendekar sekitarnya guna mengeruk keuntungan pribadi. Keuntungan pribadi di sini bisa diartikan korupsi, kedudukan politis, jabatan empuk dan sebangsanya.

Logikanya kemunculan sosok Pendekar Maiyah, bakal langsung menjamin penjagaan atas amanah kehidupan untuk masuk menjadi Pendekar Dwipantara sekaligus Pendekar Jagat.
Selama ini, kita semua masih berada dalam kotak yang tersekat-sekat dalam sebuah kotak yang berlapis kotak-kotak yang selanjutnya lalu dimasukkan lagi kedalam kotak terkecil. Masing-masing dari kita menempati alam kotak terkecil dalam sebuah kotak yang terkotak-kotak lagi dalam kotak paling kecil itu.

Kotak terkecil itu bernama keprimordialitasan cara berfikir, kepentingan sesaat ragawi yang culas, kesempitan cara beragama—hingga tersesat dalam aliran sesat—tapi malah sesumbar menjadi golongan yang terakhir ke-71 bagi Yahudi, nomor ke-72 teruntuk Nasrani dan grup ke-73 khusus Islam yang terselamatkan oleh Tuhan. Semenjak alam intelektual, cara berfikir, paradigma logika keagaamaan kita ter-setting dan sengaja diatur, dipaksa secara otoriter meski lantas dibalut laa iqraaha fi ddiin-nya Islam, atau ruh ke-RuhulQuddusannya Nasrani, kesolidaritas sosialannya Lenin (yang Komunis-Islami tentunya), hingga keUzairannya Yahudi.

Seperti penulis, yang merasa telah dicekoki para ulama, kyai dengan cara berfikir Islam yang serba jumud, beku, kaku, tak fleksibel. Saya juga yakin, Anda yang meng-istiqamahi ajaran Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Darmogandul pasti suatu masa merasa diperalat oleh pendeta, pastur, rama, rahib dan sebagainya. Ini bukan sentimentil. Tapi muncul dari sebuah kesadaran diri, yang akan meruntuhkan keangkuhan "tembok Berlin agama" yang kerap menjerumuskan itu. Bukan malah mencerdaskan, mendewasakan logika dan kearifan hidup kita. Sebab metode ajaran agama pada saat ini hanya sebatas menjadi industri kapitalis pahala, yang mengumpulkan dan mengkalkulasi jumlah amal kebaikan dengan dosa. Bukan bertujuan untuk menggapai keridhaan Allah semata. Padahal puncak teologi agama adalah kebersatuan spiritual antara Allah dan hambaNya. Bahkan Muhammad, Isa, Musa dan lainnya sangat menganjurkan pada umatnya untuk bebas mengeksplorasi segala potensi diri.

Potensi fisik, peluang pemaksimalan kecerdasan alam spiritual maupun meliberalisasikan dan memoderatkan alam di luar diri. Muhammad sendiri tak pernah membunuh, dan jika tak terpojok sebisa mungkin ia masih menolelir untuk tak menusukkan pedang pada lambung lawan bila masih bisa berkelit dan menangkis. Model dakwahnya sangat moderat, otak beken, encer dan ces-pleng. Segala hujatan dimentahkan dengan argumentasi a la Plato, Socrates. Maksudnya, Plato dan Socrates-lah yang mencontoh kelihaian retorikanya Muhammad. Muhammad tak pernah sekalipun melecehkan Isa yang di Tuhan-Yesuskan oleh penganut Nasrani. Muhammad juga belum pernah melontarkan kritik terhadap Musa yang menjadi "sumber cahaya" bagi bangsa Yahudi-Israel.

Hanya para penganut kolot model kita sajalah yang membikin suasana keagaamaan serba panas, karena dipolitisir demi pemenuhan kebutuhan ekonomi kelompok mereka. Adanya Word War One dan Two itu kan hanya ilusi kelompok manusia yang getol berkeinginan memenuhi pundi-pundi emas kelompoknya saja. Alasan ideologis, yang menyebabkan terpantiknya PD I jelas mengada-ada saja. Apalagi dalih manusia guna mencapai puncak kematangan spiritual bagi kelompok agama tertentu, nol besar.

Semuanya, konflik, peperangan, pertumpahan darah, pertengkaran, adu jotos hanyalah bermotif ekonomi-politis belaka. Mau menjadi Pendekar Jagat, itulah seloroh Hitler yang di-back up sang diktator Mussolini dan dedengkot kekaisaran Jepang kala melancarkan Perang Dunia. Bagi pihak Amerika, Perancis, Inggris, Polandia, Belanda Perang Dunia cukuplah dijadikan industri perang, yang bertujuan mulia mengeruk SDA-M yang dimiliki negara-negara tempat jajahan. Tepatnya bukan menguasai negara, karena negara yang dijajah pada saat itu masih belum berbentuk negara, karena masih tercerai berai dan dikuasai penguasa lokal—para raja.

Pendekar Maiyah yang bisa mempendekari Kependekaran Nusantara plus Kependekaran Jagat adalah sosok pendekar yang bisa menjelma menjadi sosok Muhammad yang merakyat. Beliau tidak pernah memproklamasikan diri menjadi Nabi yang Meraja, melainkan lebih memilih menjadi Nabi yang Merakyat —Ngabdan Nabiyya. Atau sosok pendekar Isa yang meski berusia pendek —sang Mesias; yang bakal meluluhlantakkan Dajjal dipenghujung akhir kehidupan dunia nantinya— teramat relevan untuk dijadikan ikon bagi para Pendekar Maiyah itu. Bahkan kalau boleh melebihi kependekarannya Muhammad, kedugdengan-nya Musa, atau kewaskitaannya Isa sekalipun.

Bahkan Hitler sendiri yang NAZI —entah keyakinan model mana yang ditakzimi sosok yang "ksatria sejati" itu— pun dengan tekun mempelajari kitab suci Qur'an -meski secara sembunyi-sembunyi; hingga kekuasaannya hampir bisa menguasai seluruh daratan-lautan Eropa, Asia, Amerika, Australia, apalagi Afrika kalau mau. Sebab dirinya hanya ingin membuktikan pada Nabi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya, bahwa dirinya juga mampu bahkan melebihi kelebihan yang dimiliki Nabi yang diagung-agungkan oleh Milyaran penganut Muslim itu.

Seharusnya, kita, Anda, saya, anta, anti, antuma, atuma, antum, antunna…—juga boleh berfikiran radikal sebebas Hitler, namun tetap beretika sosial. Kesalahan Hitler adalah minus etika sosial. Bukankah semenjak kecil, kita semua telah di-ploting dan hanya dikondisikan untuk tak berfikiran radikal, bebas nilai? Jadilah dulu Pendekar Maiyah, minimal bagi dirimu sendiri. Nah, sudahkan anda berkenalan dengan diri anda sendiri? (*)

Jogja, 17 Mei 2007 

*) Supadiyanto; Kolumnis, padiyanto@yahoo.com, 08179447204

 

Edisi 4

Lebaran Menuju Indonesia “Baru”

Oleh : EspedE

 

Tanggal 1-2 Oktober 2008 lalu umat Muslim sejagat raya ber-Hari Lebaran. Hari yang amat sakral sekaligus urgen bagi perekonstruksian nasib bangsa ini menuju Indonesia “baru”. Bolehlah umur kita sudah tua renta, namun semangat jangan sampai kendur.

Realitas sosial memang menunjukkan ratusan juta warga miskin negeri ini tak bisa merayakan Lebaran kemarin dengan sumringah. Pasalnya, harga sembako dan kebutuhan hidup lain amat mahal saat ini. Selain itu, banyak yang tidak bisa mudik lantaran keterbatasan finansial.

 Terlepas dari permasalahan itu, kita boleh berharap semangat Lebaran ―yang menganjurkan tiap orang bermaaf-maafan— dapat mengurai problematika kompleks yang dihadapi bangsa ini agar sejarah Indonesia yang sarat catatan buruk berbagai bidang dapat terburai, hingga kita generasi muda dapat merekonstruksi masa depan bangsa ini.

Di tengah bingar —atau ketidaksumringahan?— perayaan Lebaran, marilah kita bersama meluangkan waktu untuk merefleksikan perjalanan bangsa ini. Tak kalah menarik jika kita juga mengintrospeksi kualitas kepemimpinan bangsa ini selama dipimpin 6 presiden yang pernah menjabat RI-1. Berapakah nilai rapor yang pantas kita berikan pada mereka masing-masing ―dalam memajukan pembangunan di negeri 8 juta km persegi ini? Siapa presiden yang pantas mengantongi nilai terbagus dalam memimpin rakyat Indonesia mencapai kemakmuran? Atau siapa pula presiden yang berhak menyandang predikat terburuk (rapor merah)?

Pantaskah mantan Presiden Soeharto ― sukses membikin harga sembako murah, memberantas kemiskinan itu— kita beri nilai “8”? Bung Karno-kah ―punya gaya retorika jempolan, kuasa menggelorakan kebebasan berdemokrasi― juga tak kalah pantas mendapat angka “9”? Begitupun Gus Dur, Megawati, Habibie, mana pantas mereka menenteng nilai rapor merah? Presiden SBY ―lengkap dengan kepopularitasannya― bukankah minimal angka “7” tertoreh dalam rapor kepemimpinannya, meski sekarang belum usai?

Jujur saja, amat sulit bagi orang awam untuk memberikan nilai rapor kualitas kepemimpinan enam presiden itu. Paling tidak ada dua alasan yang relevan dikemukakan, mengapa mereka kerepotan (sulit) memberikan nilai rapor .

Pertama, orang awam tak pantas berposisi sebagai “juri” sebab mereka tak punya cukup pijakan ilmu kuat, sehingga unsur subyektivitas lebih mendominasi. Padahal yang diperlukan justru nilai-nilai obyektivitas yang bertolak pada sekian parameter ilmiah. Sebagai contoh simple, masyarakat di dusun Kemusuk (Godean, Jogja) akan serempak setuju memberikan nilai “9” atau bahkan nilai “10”, malahan, untuk Soeharto. Perkaranya cukup sepele, warga  Kemusuk sana punya ikatan emosional kuat.

Lain lagi ceritanya kalau penulis menanyai orang-orang di Jombang (Jawa Timur) sana nilai rapor kepemimpinan Gus Dur. Pasti, tanpa banyak “cincong” lagi mereka langsung menyetempelkan angka “10” untuknya dan jika mereka dipaksa untuk memberikan nilai rapor pada presiden selain Gus Dur, angka merahlah yang keluar.

Kedua, secara sederhana tak lain karena dunia politik amat sensitif memicu berbagai konflik. Kesalahan orang awam dalam menilai perihal yang substansial ―seperti kasus di atas― pasti berpuncak pada konflik fisik.

Berdasarkan dua dalih di atas, memang cukup logis bila orang awam tak usahlah disuruh untuk menilai kepemimpinan enam presiden itu. Implikasi sosialnya jelas buruk; bakal berujung pada penilaian yang tak jujur (subyektif). Kendati lebih bijak jika urusan menilai itu dipasrahkan pada ahlinya, namun, hemat penulis, alangkah bagusnya jika Lebaran kali ini bisa dijadikan momen kebersamaan dalam menilai kualitas para pemimpin di negeri ini. Masalah apakah kita yang orang awam ini berhak atau tidak menjadi “juri” atas kebagusan atau keburukan nilai rapor para pemimpin negeri ini; semuanya kita serahkan saja pada Tuhan. Toh, kalau ternyata  nilai rapor para pemipin itu “merah semua”, jangan lantas kaget Anda!

*) EspedE,  Kolumnis berbagai media cetak nasional&lokal; email :padiyanto@yahoo.com//mobile: 08179447204